Kamis, 25 Februari 2010

MERANGSANG GURU MENULIS BUKU PELAJARAN

MERANGSANG GURU MENULIS BUKU PELAJARAN*


Salah satu instrumen penilaian dalam sertifikasi guru adalah prestasi akademik yang berhubungan dengan pengembangan profesi berupa mengikuti kegiatan ilmiah dan membuat karya tulis ilmiah berupa artikel, makalah, buku dan sejenisnya.

Instrumen penilaian ini sangatlah wajar, karena profesi guru adalah profesi dinamis yang menuntut pelakunya untuk senantiasa respon terhadap perkembangan dan dinamika ke-ilmiah-an. Respon ke-ilmiah-an ini dapat dilakukan dengan cara membaca karya-karya ilmiah yang behubungan dengan mata pelajaran yang di-ampu-nya dan menulis karya ilmiah berupa artikel, makalah, buku dan sebagainya.

Tradisi menulis bukanlah sebuah tradisi tumbuh begitu saja. Diantara hal yang dapat dilakukan guru dalam rangka merangsang tumbuhnya tradisi ini adalah dengan menulis dan mendokumentasikan segala macam dokumen pembelajaran yang berlangsung. Kebiasaan ini akan membawa pada terdokumentasikannya setiap aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Dari dokumen-dokumen pembelajaran inilah kemudian dapat dikembangkan menjadi sebuah karya tulis berupa buku, diktat, makalah, artikel dan lain sebagainya.

Paling tidak ada tiga faktor yang menjadi kendala bagi guru untuk menulis sebuah karya ilmiah. Pertama, tidak adanya waktu luang yang cukup untuk melakukan kontemplasi dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Di tengah timbunan tugas mengajar dan beban tugas administratif yang tak pernah putus, guru sangat sibuk menjalani profesinya. Bahkan, punya waktu untuk membaca saja, bagi guru barangkali sudah menjadi sangat istimewa.

Kedua, tidak adanya rangsangan insentif memadai dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan profesi guru seperti pemerintah dan institusi pendidikan yang dikelola masyarakat. Di Indonesia, pemerintah dan institusi pendidikan swasta kurang menjanjikan akan memberikan insentif kepada guru yang mampu untuk menulis.

Ketiga, keengganan guru untuk menulis buku sedikit banyak dipengaruhi oleh ketidakjelasan siapa yang nanti akan menerbitkan. Sudah rahasia umum, dalam pemilihan buku pegangan untuk anak didik, guru atau kepala sekolah seringkali ter-subordinasi oleh kekuatan penerbit. Pemilihan buku bacaan apa yang tepat untuk anak didik bukan ditentukan sejauhmana kualitas buku itu, tapi lebih ditentukan oleh besaran insentif yang diberikan penerbit kepada sekolah.

Solusi yang dapat ditawarkan adalah keberanian sekolah untuk memberikan rangsangan berupa insentif kepada guru untuk menyusun bahan ajar dalam bentuk buku, diktat atau apapun bentuknya.

Berkaitan dengan anggaran untuk penulisan buku pelajaran, sebenarnya sudah ada anggaran dari Depdiknas. Namun seiring dengan otonomi daerah, maka dana pengadaan buku pelajaran dialihkan pada setiap daerah untuk dikelola. Dimasukkannya anggaran pengadaan buku pelajaran ke dalam Dana Alokasi Umum (DAU) setiap kabupaten kota memberikan peluang untuk mengembangkan potensi menulis yang dimiliki oleh guru. Namun harapan ini tak juga tercapai, karena setiap kabupaten kota membelanjakan dana untuk membeli buku pelajaran ke penerbit yang sudah ada.

Ketika guru sudah mampu untuk menyusun bahan ajar sendiri, maka sekolah akan mendapatkan tiga keuntungan sekaligus. Pertama, sekolah tidak akan kelabakan ketika menghadapi akreditasi yang dilakukan secara berkala. Uji akreditasi yang dilakukan oleh lembaga terkait terhadap sebuah sekolah sering menjadi “momok”, hal ini terjadi karena sekolah harus menyiapkan berbagai macam dokumen pembelajaran maupun administrasi kelebagaan sebagai salah satu instrumen yang dinilai oleh asesor.

Kedua, dengan adanya bahan ajar yang disusun sendiri oleh guru dan tidak tergantung pada buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit, maka sekolah akan terbebas dari ketergantungan pada pihak luar dalam hal penyediaan buku dan bahan ajar lainnya. Sebab, semakin sekolah tergantung pada penerbit tertentu, maka yang terjadi adalah pengabaian pada kualitas buku yang dipakai.

Dan yang ketiga, guru agak sedikit tersenyum lega karena mendapatkan insentif dari hasil karyanya tersebut.

Memang, dalam beberapa kasus, kerjasama sekolah dengan penerbit memberikan keuntungan tersendiri bagi sekolah. Akan tetapi jika sekolah sudah komitmen, maka kemampuan guru untuk membuat bahan ajar sendiri merupakan salah satu jawabannya. Dan untuk itulah sekolah perlu men-support guru agar “menulis”.

Akhirnya, guru, sebagai sebagai sebuah profesi yang berhubungan dengan dunia akademik-ilmiah, maka sangatlah wajar ketika dalam profesi ini dituntut untuk mampu menuangkan berbagai idenya dalam bentuk tulisan. Karena sesungguhnya karya tulis, apapun bentuknya, sejatinya merupakan salah satu media untuk berkomunikasi secara non verbal.

* Artikel ini dimuat di Harian Tribun Jabar Edisi 17 Juli 2009

Label:

Rumahku Surgaku

RUMAHKU SURGAKU

(INDIKATOR KELUARGA SAKINAH) *

“Rumahku Surgaku”, inilah ungkapan sederhana rasul ketika menjelaskan kondisi keluarganya. Dengan kondisi keluarga beliau yang penuh dengan kesederhanaan, ternyata beliau tetap berucap bahwa rumahku adalah surgaku. Pertanyaannya adalah mengapa rasul mampu untuk itu? Maka jawabannya adalah karena rasul mencintai pasangan hidup dan semua anggota keluarganya.

Cinta seorang suami kepada istrinya, dan sebaliknya, merupakan bibit yang harus ditumbuhkembangkan dalam membina rumah tangga. Apapun kondisi keluarga yang dihadapi. Sebagaimana keimanan, maka rasa cinta juga mengalami fluktuatif (naik dan turun). Antara cinta dan iman merupakan sesuatu yang tidak berbeda. Keduanya merupakan bahasa hati dan jiwa yang dimiliki manusia. Iman merupakan ungkapan jiwa manusia terhadap keberadaan tuhannya, sedangkan cinta dalam pengertian secara khusus merupakan ungkapan jiwa untuk sesamanya. Dalam arti yang lebih luas, pendefinisian cinta ini akan merambah kemana-mana, akan tetapi dalam tulisan ini dibatasi pada hubungan sesama manusia.

Dalam kehidupan rumah tangga, seorang suami yang mencintai istri dan anak-anaknya juga mengalami hal yang sama, yaitu naik dan turun. Uangkapan di atas mungkin dapat diralat menjadi, cinta seorang suami kepada istrinya dan juga sebaliknya akan mengalami fluktuasi. Kenapa penulis kemudian menghilangkan unsur anak? Maka jawabannya adalah karena orang tua mustahil untuk tidak mencintai anaknya.

Kenapa kita sering mendengar berita ada orang tua yang menganiaya anaknya? Itu barangkali kejadian yang sifatnya sangat sangat kecil persentasenya, atau mungkin orang tua yang melakukannya adalah mereka yang tergolong ke dalam kelompok orang tua yang punya gangguan jiwa.

Kembali pada naik turunnya cinta seorang suami kepada istrinya dan istri kepada suaminya. Seorang suami dan istri merupakan pasangan yang berasal dari keluarga dan latar belakang yang sangat berbeda. Hal ini menyebabkan mereka mempunyai karakter dan kebiasaan yang berlainan pula. Tekad untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis atau sakinahlah yang menjadi bibit cinta mereka.

Namanya juga bibit, maka ia akan tumbuh berkembang menjadi besar dan berbuah atau sebaliknya ia kering dan akhirnya mati. Faktor yang mempengaruhinya adalah sejauh mana pemeliharaan dari sang empunya bibit tersebut, apabila ia siram tiap hari dan dikasih pupuk, maka insya Allah akan tumbuh subur dan menghasilkan buah yang diinginkan, akan tetapi jika yang empunya lalai untuk menyiram dan memberi pupuk maka bibit akan kering dan mati.

Seorang suami dan istri jika ingin mendapatkan sebuah cinta diantara mereka yang harmonis, maka yang harus dilakukan adalah “menyiram” dan “memupuk” bibit cinta yang telah ada. Ada beberapa hal yang patut dilakukan dalam rangka menumbuh kembangkan cinta yang telah ada, dan ini nantinya akan berimplikasi pada kesehatan mental suami istri tersebut, yaitu:

  1. Merasa Amanah

Ikatan suami istri yang terjalin harus diyakini oleh keduanya sebagai sebuah amanah yang Allah titipkan kepada mereka. Keyakinan ini akan berdampak pada satunya visi mereka dalam mengarungi bahtera kehidupan, sehingga apapun aral melintang yang menghadang, maka mereka akan siap menghadapinya.

  1. Saling Percaya

Kepercayaan dari pasangan hidup merupakan modal utama dalam hidup berumah tangga. Seorang istri percaya kepada suaminya ketika beraktifitas di luar rumah, begitupun suami percaya kepada istrinya ketika ditinggalkan di rumah. Hal ini akan menyebabkan suami tenang menjalankan semua tugasnya, dan istri merasa lega melepas kepergian suami ke luar rumah.

  1. Menerima apa adanya dan saling memahami kondisi pasangan (deep understanding).

Menerima apa adanya adalah sebuah respon positif yang harus dikembangkan. Suami istri merupakan manusia biasa yang tentunya memiliki keterbatasan. Apapun yang ada dan terjadi sekarang ini, maka itulah adanya yang harus diterima dan dinikmati. Ketika perasaan untuk menerima apa adanya ini tidak ada, maka yang akan timbul adalah rasa tidak puas, apalagi yang dijadikan pembanding adalah mereka yang berada pada strata yang lebih tinggi.

  1. Tidak suka mencari-cari kesalahan dan kekurangan pasangan, tetapi sebaliknya pandai melihat kekurangan dan kesalahan diri.

Seorang suami dan istri harus selalu melihat sisi positif dari pasangannya, tidak sebaliknya melihat yang negatif. Akibat yang akan timbul jika selalu melihat yang negatif dari pasangannya adalah adanya ketidakpuasan dan perselisihan, karena a merasa lebih dibanding pasangannya. Yang seharusnya dilakukan adalah saling mencari kekurangan masing-masing, setelah itu bicarakan diantara keduanya dan cari jalan pemecahan dari kekurangan tersebut.

  1. Memiliki kendali diri yang kuat di kala menghadapi situasi kritis

Pengendalian diri merupakan kata kunci dalam rumah tangga. Ketika semua unsur dalam keluarga sudah mampu untuk mengendalikan dirinya, maka keharmonisan akan tercapai. Bahkan Nabi pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim, “Ada empat situasi kritis yang Allah mengharamkannya masuk neraka dan menjauhkannya dari syetan yaitu orang yang dapat menguasai diri ketika senang, susah, nafsu syahwatnya yang memuncak, dan marah”

Kelima hal tersebut diatas menurut hemat penulis akan mampu menjadi pupuk bagi tumbuh kembangnya cinta suami dan istri dalam sebuah rumah tangga, sehingga bisa mewujudkan sebuah keluarga harmonis yang sakinah yang didasari rasa cinta diantara semua anggota keluarga tersebut.

Begitu berat tantangan keluarga pada zaman sekarang ini. Penetrasi budaya dan aliran informasi yang tak terbendung mengakibatkan rentannya daya tahan dari sebuah rumah tangga. Tiap hari mereka disuguhi dengan berita-berita tentang perceraian dan perselingkuhan dalam berbagai infotainment yang tak terhitung jumlahnya di media massa. Disadari atau tidak asupan informasi tersebut akan masuk dalam diri dan membuat sebuah pencitraan bahwa apa yang terjadi tersebut (konflik rumah tangga) merupakan hal yang biasa yang tidak perlu dirisaukan.

Na’udzu billah dari sikap tersebut. Maka sudah seharusnyalah sebuah keluarga muslim mengkondisikan keluarganya sehingga terhindar dari konflik rumah tangga, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada generasi mendatang yaitu anak-anak kita.

* artikel ini dimuat di Media Pembinaan Edisi Juni 2008

Label:

Selasa, 23 Februari 2010

Menciptakan Suasana Religius Melalui Pesantren Kilat

MENCIPTAKAN SUASANA RELIGIUS MELALUI PESANTREN KILAT*

Saat memasuki bulan suci Ramadlan, lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, sibuk mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan satu kegiatan keagamaan tahunan yang dikenal dengan istilah pesantren kilat (Peskil atau Sanlat).
Pesantren kilat atau sering diistilahkan dengan pesantren Ramadlan (Pesram) merupakan kegiatan keagamaan insidental bagi siswa diluar KBM reguler yang berjalan dalam sebuah lembaga pendidikan.
Sekolah biasanya menyediakan waktu sekitar satu minggu pada awal bulan Ramadlan untuk mengisinya dengan berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari yang bersifat teori sampai yang praktis, seperti baca tulis qur’an (BTQ), hafalan do’a sehari-haria dan praktik ibadah harian seperti wudlu, shalat, dan dzikir.
Di antara hal yang menjadi dasar diadakannya pesantren kilat adalah karena pihak lembaga pendidikan umum merasa pemberian materi agama sangat kurang yaitu hanya 2 jam pelajaran dalam satu minggu atau setara dengan 80 menit dalam satu minggu. Sementara materi pembelajaran dalam kurikulum yang harus disampaikan sangat banyak. Alokasi waktu yang tidak proporsional ini mengakibatkan kurang tercapainya tujuan kurikulum dan pemahaman siswa terhadap materi agama yang disampaikan guru kurang mendalam.
Pesanten kilat merupakan salah satu inovasi yang digagas dalam rangka meningkatkan pemahaman keagamaan (religiusitas) siswa. Kata ”pesantren” menunjukan bahwa kegiatan ini mengadopsi sistem pembelajaran yang diselenggarakan di pesantren. Sedangkan ”kilat” menunjuk pada pelaksanaannya yang sangat singkat, sekitar satu minggu.
Menurut Ahmad Tafsir (1991), pakar pendidikan Islam dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, paling tidak ada tiga motivasi sekaligus tujuan diadakannya pesantren kilat di sekolah-sekolah umum.
Pertama, agar anak memiliki akhlak yang baik. Motif ini muncul dari rasa khawatir orang tua akan kenakalan remaja. Sebab, dengan kenakalan anaknya tentu akan mempengaruhi martabat dan kredibilitas orang tua di masyarakat. Pada motif yang pertama ini, motif dan tujuan yang lebih menonjol adalah dalam rangka menjaga nama baik orang tua dari rongrongan kenakalan anaknya.
Kedua, motif mengisi waktu, motif ini muncul karena orang tua merasa bahwa waktu luang seorang remaja adalah sangat berbahaya bila tidak diisi dengan kegiatan yang positif. Dengan kegiatan pesantren kilat inilah maka anak dapat menggunakan waktu luangnya dengan kegiatan positif yang bermanfaat.
Ketiga, motif menutupi kekurangan waktu pendidikan agama di sekolah. Motif ini muncul karena orang tua merasa bahwa pendidikan agama yang diperolah di sekolah masih sangat kurang sehingga membutuhkan waktu tambahan melalui kegiatan agama di luar kurikulum.
Kekurangan waktu pendidikan agama di sekolah memang kurang menjadi perhatian orang tua. Berbeda dengan pelajaran lainnya yang di UAN-kan. Orang tua merasa butuh untuk menambahnya dengan les-les privat di rumah atau memasukannya ke lembaga bimbingan belajar. Hal ini dilakukan karena rasa takut orang tua jika anaknya tidak lulus UAN nantinya. Tetapi ketika kekurangan jam pelajaran agama orang tua jarang yang merasa perlu untuk memberi les-les privat di rumahnya.
Oleh karena itulah, ketika sekolah secara rutin setiap tahun mengadakan kegiatan pesantren kilat, seyogyanya mendapatkan apresiasi yang positif dari seluruh pihak terutama orang tua siswa.
Dalam aplikasinya, pesantren kilat diadakan dengan merumuskan materi, metode, teknik dan pengajar pesantren kilat yang disesuaikan dengan kemampuan panitia penyelenggara dan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Padahal idealnya perumusan materi, teknik dan metode adalah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan keagamaan siswa.
Ada dua alternatif materi yang dapat disampaikan dalam pesantren kilat di sekolah. Pertama, semua materi yang diajarkan dalam kurikulum pendidikan agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam kurikulum. Alternatif pertama ini dilakukan dengan menambah porsi waktu dan metodologi yang digunakan.
Kedua, materi yang disampaikan merupakan materi keagamaan diluar kurikulum PAI. Hal ini dilakukan misalnya dengan menggunakan acuan materi yang disajikan dalam madrasah diniyah atau pesantren, tentunya dengan menggunakan metode yang fleksibel dibanding pesantren dan madrasah diniyah.
Penggunaan alternatif materi yang pertama ataupun yang kedua dalam pesantren kilat di sekolah tidaklah jadi masalah. Yang harus menjadi perhatian utama penyelenggara adalah adanya penciptaan suasana religius sedemikian rupa, sehingga siswa merasakan ada yang berbeda di sekolah mereka. Inilah yang menjadi urgensi dari kegiatan ini, yaitu menciptakan religiusitas melalui pesantren kilat.
*Artikel ini dimuat di Harian Tribun Jabar Edisi 28 Agustus 2009

Label:

Pembinaan Kepribadian Melalui PAI Di Sekolah

PEMBINAAN KEPRIBADIAN MELALUI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH
Dalam dunia pendidikan kita, budaya kekerasan dan kemerosotan akhlak sekarang ini begitu terasa. Banyak peserta didik yang sering dinilai tidak hanya kurang memiliki kesantunan baik di sekolah, di rumah dan lingkungan masyarakat, tetapi juga sering terlibat dalam tindakan kekerasan massal seperti tawuran, perampokan di atas bus kota, keterlibatan kasus obat-obatan terlarang, dan sebagainya.
Pandangan simplistis menganggap bahwa kemerosotan akhlak, moral, dan etika peserta didik disebabkan karena gagalnya pendidikan agama (Islam) di sekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, pendidikan agama di sekolah memang memiliki kelemahan-kelemahan, sejak dari jumlah jam pelajaran yang sedikit, materi yang terlalu menekankan aspek teoritis, sampai kepada pendekatan yang cenderung bertumpu pada aspek kognisi (aqliyah) daripada afeksi (qalbiyah) dan psikomotor (fi’liyah). Berhadapan dengan berbagai masalah di atas, pendidikan agama sering dianggap “telah gagal” dan tidak fungsional dalam membentuk akhlak, moral, dan bahkan kepribadian peserta didik.
Dalam kenyataannya menunjukan bahwa pendidikan Islam masih terpolakan pada istilah pelajaran agama Islam dengan pelajaran non agama Islam, dimana pelajaran agama Islam kurang ditransformasikan untuk kepentingan sosial kemasyaraktan pada satu sisi, dan pelajaran non agama Islam tidak dijadikan sebagai sarana pendidikan iman dan moral bagi siswa.
Polarisasi atau dikotomi antara pelajaran agama Islam dan non agama Islam merupakan sesutu yang tidak sejalan dengan paradigma tauhid dalam pendidikan Islam. Allah SWT. telah menurunkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, dimana setiap aspek kehidupan berhak untuk mendapatkan cahaya Islam yang sejati. Polarisasi tersebut akan mengakibatkan sebuah sikap yang merasa diri lebih Islami pada satu sisi, dan merasa kurang (atau bahkan tidak) Islami di sisi lain. Jika hal ini terjadi maka akan menjadikan Islam kurang menjadi rahmat bagi semesta alam ini.
Pendidikan agama pada hakikatnya adalah sebuah proses internalisasi nilai-nilai keagamaan yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik. Melalui proses inilah kepribadian peserta didik dibangun. Proses ini mencakup beberapa tahapan. Tahapan pertama berupa upaya transfer of knowledge dari pendidik kepada peserta didik tentang nilai-nilai keagamaan tersebut. Tahapan selanjutnya, pendidik tampil dengan personifikasi nilai-nilai keagamaan untuk kemudian di respon dan diteladani oleh peserta didik.
Diperlukan sebuah upaya strategis dan inovatif untuk melaksanakan sebuah proses pendidikan agama, utamanya pembelajaran al-Qur`an, agar fungsi al-Qur`an sebagai hudan (petunjuk) dapat berjalan sebagaimana mestinya. Upaya strategis pembelajaran agama Islam tersebut meliputi proses pemilihan pendekatan, metode, teknik pembelajaran dan prosedur pembelajaran sehingga menghasilkan KBM yang berkualitas tinggi.
Implementasi pembelajaran pendidikan agama di sekolah cenderung konvensional. Hal ini tentu berkaitan dengan banyak hal, mulai dari kualitas guru agama, ketersediaan sarana, dan kemampuan pimpinan sekolah untuk memberikan rangsangan kepada guru agar lebih kreatif dalam menjalankan proses pembelajaran. Seharusnya yang dikembangkan adalah pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada active learning sehingga siswa terbiasa aktif untuk mencari pemecahan dari bebagai masalah yang timbul dalam kehidupan. Pendekatan ini merubah pola yang menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran (teacher oriented) menjadi pendekatan siswa yang menjadi pusat pembelajaran (student oriented).
Pendidikan agama merupakan mata pelajaran normatif yang dalam ”pakemnya” berusaha membentuk siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa dengan cara mengajarkan nilai-nilai agama kepada peserta didik. Cakupan materi pembelajaran PAI di sekolah adalah seluruh unsur ajaran pokok Islam dalam skala yang kecil, yaitu menyangkut akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan tarikh.
Pendidikan akhlak misalnya, merupakan bagian integral dari materi PAI yang memiliki peran sentral dalam rangka pembinaan kepribadian dan moral anak didik. Begitupun materi keimanan yang mengajarkan berbagai hal tentang hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Jika keyakinan seorang hamba terhadap kekuasaan Tuhan sudah tertanam dengan baik, niscaya ia akan menjadi manusia shalih yang berkepribadian.
Satu hal utama yang harus diperhatikan adalah bahwa segala upaya kurikuler di atas tidak akan berhasil tanpa adanya teladan dari guru dan seluruh yang terlibat dalam proses pembelajaran siswa. Sebab kepribadian yang baik adalah sesuatu yang mudah untuk dibicarakan tetapi sulit untuk dipraktikan.

Label:

Tugas Mulia Guruku

Tugas guru sangatlah mulia. Guru senantiasa membimbing dan menanamkan nilai-nilai luhur. Diantara nilai yg hrs ditanamkan adalah rasa hormat pada orang tua dan guru. Penekanan pd hal ini disebabkan oleh semakin kaburnya batas kesopanan dikarenakan intervensi dari budaya luar melalui tontonan tv, internet dan media masa lainnya.
Anak-anak kita hanya dengan sekali klik saja di internet atau sekali pencet remote control televisi, maka dia akan melihat seluruh jagad ini. Inilah barangkali yang harus menjadi perhatian banyak pihak.
Orangtua, dari sudut pandang apapun adalah pihak yg berhak mendapat penghormatan yg luar biasa dari anak. Tidak akan mampu kita menghitung berapa besar jasa yang telah diberikan oleh mereka. Kita tidak akan mampu untuk mengukur ketinggian rasa ikhlas yang ada dalam hatinya. Dan pada akhirnya kita tidak akan mampu membalas pengorbanan yang telah mereka berikan kepada kita.
Begitupun guru merupakan sosok yg dg integritasnya patut mendapat penghormatan pula. Guru dengan ilmu yang dimilikinya mengajar dan mendidik kebenaran. Mencontohkan kebaikan, Meneladankan kemuliaan. Dan guru pula yang menunjukan arah masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita.
Ironisnya, sekarang ini anak-anak kita semakin menunjukan perilaku yang kurang baik. Rasa hormat anak kepada orang tua semakin terkikis. Tidak jarang kita mendengar ada seorang anak yang berkata kasar, bertingkah tidak sopan dan sangat tidak mengindahkan kata-kata orang tua. Tentu itu hanyalah beberapa contoh yang dapat disebut di sini.
Guru diharapkan mampu mnjadi benteng terakhir dalam menjaga moralitas dan kepribadian anak bangsa ini. Guru yang sering disebut dengan pahlawan tanpa tanda jasa sejatinya hanyalah salah satu saja dari banyak pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam mengawal moralitas. Akan tetapi faktanya guru merupakan profesi yang paling pertama dimintai pertanggungjawabannya ketika terjadi hal-hal tidak baik yang dilakukan oleh anak-anak dan masyarakat secara umum.
Ke depan, tantangan yang dihadapi bapak dan ibu guru adalah tidak semakin mudah, justru sebaliknya semakin berat dan komplek. Namun satu kata yang dapat menjadi penyejuk hati para guru adalah selalu menganggap segala upaya dalam mendidik merupakan bagian dari amal ibadahnya kepada Allah SWT.

Label:

Senin, 22 Februari 2010

bikin blog

ayah arifa sekarang sudah punya blog lho!