Sabtu, 12 November 2011

makna idulqurban



Idul adha atau idul qurban merupakan satu dari dua hari raya dalam Islam yang memiliki makna yang sangat istimewa bagi umat Islam. Disebut idul qurban karena di dalamnya ada perintah untuk menyembelih hewan qurban bagi yang memiliki kelebihan harta, sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. serta anak-anak Nabi Adam, a.s.
Sebagaimana ibadah zakat, qurban juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Melalui penyembelihan hewan qurban, ada pemerataan ekonomi. Fakir miskin yang jarang sekali makan daging, bahkan  mungkin tidak pernah, maka dengan qurban ini mereka ikut merasakan nikmatnya makan daging. Para peternak kecil juga ikut merasakan untung dari peristiwa idul qurban ini, karena adanya peningkatan permintaan hewan ternak untuk dijadikan hewan qurban.
Masyarakat Indonesia sekarang ini masih berada dalam tingkat ekonomi yang kurang beruntung, walaupun berada dalam wilayah yang memiliki sumber daya alam yang sangat luar biasa.
Ketika menjelang  Hari Raya Idul Fitri kemarin, kita masih banyak menemukan adanya antrian panjang warga miskin untuk mendapatkan derma berupa zakat dan shodaqoh dari orang kaya, walaupun dalam jumlah hanya sekitar puluhan ribu rupiah. Bahkan sampai ada korban karena berdesak-desakan untuk mendapatkannya. Ini hanya gambaran riil di masyarakat bahwa warga bangsa ini masih berada dalam kondisi ekonomi yang sangat berkekurangan.
Di kota-kota besar, pameran kemiskinan juga sangat jelas penampakannya. Di lampu merah (perempatan jalan raya) banyak sekali ditemukan para tuna wisma, pengemis, pengamen dan sejenisnya yang menggunakan label kemiskinan yang ada padanya untuk mengais rupiah demi mempertahankan hidup. Di sinilah tantangan umat Islam untuk menunjukan kepedulian terhadap sesamanya melalui momentum idul qurban.
Qurban sebagaimana dicontohkan oleh Nabin Ibrahim a.s sesungguhnya bukanlah semata-mata proses menyembelih hewan semata. Ada nilai-nilai  luhur yang sengaja Allah SWT. agendakan bagi umat manusia khususnya umat Islam.
Menurut penulis ada  tiga nilai  luhur yang dapat diambil dari peristiwa qurban ini. Pertama adalah nilai kedekatan kepada Allah (taqarub ilallah). Kesediaan seorang muslim untuk mengorbankan hartanya dalam bentuk hewan qurban akan semakin mendekatkan yang bersangkutan dengan Allah SWT., sebagaimana Nabi Ibrahim a.s, yang rela untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail a.s.,  karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Peristiwa ini diungkapkan dalam Q.S. as-Shofaat (37) ayat 100-107, walaupun pada akhirnya Ismail, a.s. digantikan dengan perintah untuk menyembelih seekor domba, sebagaimana yang dilakukan umat Islam sekarang ini.
Taqorrub ilallah hanya bisa dicapai dengan menjalankan segala apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Mengeluarkan harta yang dimiliki bukanlah sesuatu yang mudah bagi mereka yang cinta harta, tapi dengan qurban ini manusia diharapkan untuk lebih mencintai Allah daripada harta yang ia miliki.
Kedua, nilai ketaatan kepada Allah (tho’atillah). Ketika seorang hamba rela untuk mengorbankan hartanya karena perintah Tuhannya, maka sejatinya itu merupakan bentuk ketaatan yang paripurna. Secara matematis tentu hartanya akan berkurang, tetapi karena ketaatan kepada Tuhan, maka apapun ia lakukan. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s.
Menanti bepuluh-puluh tahun kedatangan seorang anak, tentu membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Setelah lahir seorang anak laki-laki yang saleh, kemudian Allah justru menyuruh untuk menyembelihnya. Inilah cobaan yang sangat berat bagi seorang ayah, tetapi Ibrahim berhasil mengalahkan kecintaan-kecintaan yang bersifat dunia demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah SWT.
Akhirnya sejarah membuktikan, ternyata Allah hanya menguji Ibrahim, sejauhmana kecintaannya kepada dunia ini mengalahkan kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT., dan Ibrahim lulus sehingga mendapat predikat khalilullah (kekasih Allah).
Sesungguhnya ketaatan yang muncul itu adalah ekspresi dari kecintaannya kepada Sang Khalik yang telah menciptakannya. Untuk dapat menjalankannya dibutuhkan kesadaran yang tinggi, dan qurban yang dilakukan merupakan ajang latihan bagi kita untuk mentaati perintah Tuhan.
Ketiga, nilai sosial kemanusiaan. Praktik membagi-bagikan daging qurban kepada fakir miskin dan kaum dhu’afa lainnya yang disyariatkan Islam merupakan bentuk kepedulian terhadap orang yang tidak mampu. Islam menegaskan bahwa ada hak kaum dhu’afa dalam harta yang kita miliki, sehingga harus dibayarkan, diantaranya adalah dengan menyembelih hewan qurban yang dagingnya  dibagikan kepada fakir dan miskin.
Nilai-nilai qurban tersebut haruslah ditanamkan kepada anak didik kita. Anak-anak sekarang ini, di tengah gempuran nilai hedonisme dan materialisme, tentu membutuhkan setuhan nilai ruhani  yang dapat memberikan kesejukan bagi mereka.
Mudah-mudahan generasi mendatang menjadi generasi kholilullah sebagaimana Nabi Ibrahim, a.s. dan Ismail,a.s.
 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda