Minggu, 27 Maret 2011

Problematika PAI Di UAN-kan


Ada perubahan dalam pelaksanaan Ujian Nasional tahun  2011 ini, yaitu  acuan kelulusan siswa tidak hanya dari nilai UN, akan tetapi juga menggunakan unsur Ujian Sekolah (US) dan nila-inilai pada semester sebelumnya dengan menggunakan rasio 60 dan 40 untuk UN dan US. Hal lain yang berbeda adalah waktu pelaksanaan UN yang biasanya mendahului US, sekarang sebaliknya (Tribun Jabar, 11 Januari 2011).
Khusus pada mata pelajaran PAI, maka ada perubahan yang cukup signifikan, yang tadinya hanya sebagai UAS saja, sekarang sudah menjadi USBN atau Ujian  Sekolah Berstandar Nasional, dan konon ke depan akan menjadi bagian dari UN. Perubahan status ini secara otomatis menjadikan guru PAI harus siap-siap dengan berbagai kegiatan sebagaimana yang dilakukan oeh guru pelajaran yang di UNkan, seperti mengadakan pemantapan, pengayaan, try out dan lainnya.
Dan, tak mengherankan pula bila menjelang UN banyak acara doa bersama yang digelar di sekolah-sekolah. Dengan doa bersama tersebut, mereka berharap dapat lolos dari medan pertempuran UN dengan baik, dan ”sukses” mencapai target yang sudah di gadang-gadang sejak awal tahun ajaran baru.
Kembali ke PAI, alasan di USBNkannya PAI, konon adalah dalam rangka meningkatkan bargaining position (posisi tawar) PAI di sekolah khususnya, dan di masyarakat pada umumnya. Selama ini PAI dianggap sebagai pelajaran yang kurang begitu penting.
Dengan PAI menjadi USBN, maka pihak sekolah dan pihak lain yang terkait dengan pendidikan akan berupaya untuk lebih memperhatikan PAI, karena khawatir  nilai USBNnya rendah sehingga akan menjadikan citra buruk bagi sekolah dan dinas terkait.
Kalau kita mencoba untuk mencermati perubahan ini, maka ada dua  hal menarik dalam rencana PAI di UN-kan. Pertama, harus disadari bahwa ada karakteristik yang berbeda antara PAI dengan pelajaran yang selama ini di UN-kan. Pada pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan lainyya, penilaian aspek kognitif merupakan titik tekan utama, disamping aspek afeksi dan psikomotor.
Selama ini guru dan bahkan masyarakat merasa bahwa tidak ada kaitannya antara pelajaran-pelajaran  tersebut dengan moralitas, afeksi dan nilai-nilai spiritual, sehingga ketika alat ukur hasil akhirnya menggunakan ujian tertulis saja berupa UAN, maka tidak menjadi persoalan.
Akan tetapi berbeda halnya dengan PAI yang di dalamnya memuat hal yang bersifat keyakinan atau keimanan, akhlak, kejujuran, moralitas dan niali-nilai agama yang lainnya, maka alat ukur ujian tulis saja tidak akan cukup.
Keimanan kepada Tuhan,  sebagaimana diketahui bersama merupakan sesuatu yang abstrak yang berhubungan dengan hati nurani seorang manusia. Ukuran keberimanan seseorang adalah perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berkaitan dengan ibadah mahdhah (hubungan langsung dengan Allah) maupun ghair mahdhah (hubungan dengan sesama manusia). Keduanya sangat sulit untuk di ukur kalau hanya dengan menggunakan ujian tulis sebagaimana US. Inilah yang menjadi persoalan prinsip ketika hendak menjadikan PAI sebagai bagian dari UN.
Kedua, persoalan di lapangan, dimana sudah menjadi rahasia umum ketika akan menghadapi UN, maka pihak sekolah sampai dinas pendidikan sibuk untuk membuat ”tim sukses”.  Tim ini bertugas untuk mengurusi hal ihwal yang dapat memuluskan jalan agar target kelulusan tercapai. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa yang terjadi dalam pelaksanaa UN  di beberapa tempat setiap tahun adalah kebocoran soal, jual-beli jawaban, pemanfaatan HP untuk mengirim jawaban soal UN dan pelanggaran lainnya. Kesemuanya merupakan perilaku menyimpang yang sangat ditentang oleh PAI.
Apa jadinya jika dalam pelaksanaannya nanti, nilai PAI yang diperoleh didapat dengan cara yang tidak benar sebagaimana disebutkan di atas. Sungguh sebuah kemunafikan yang luar biasa. Hanya untuk mengejar kelulusan dan harga diri sekolah, kemudian mengorbankan nilai-nilai luhur dan kejujuran yang diajarkan dalam PAI.
Dari problem-problem di atas, maka sudah seharusnya untuk dikaji ulang rencana PAI di UNkan. UAN sendiri sesungguhnya masih menjadi pro dan kontra. Dengan beragam argumentasi orang menyatakan pendapatnya, baik yang  pro maupun yang kontra.
            Sejatinya UN dan US merupakan ujian bagi guru. Ujian kejujuran dan keseriusan dalam mengusung moralitas. Melalui hasil UN dan US juga guru dapat mengevaluasi proses pembelajaran, apakah  telah mencapai tujuan atau tidak. Semoga kita mampu untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anak didik kita, sehingga kelak mereka mampu menjadi generasi yang jujur dan memiliki integritas moral yang tinggi.

Oleh Abdul Wahid

Label:

Kamis, 03 Maret 2011

MENCIPTAKAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SEKOLAH




            Secara normatif pendidikan diharapkan dapat memberi petunjuk bagi keberlangsungan kehidupan sesuai dengan tata nilai ideologis, agama dan kultur bangsa. Dan  secara material pendidikan seyogyanya da
pat memberikan pengetahuan yang memajukan dan mempertinggi kualitas hidup, baik dalam  kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara.
            Untuk dapat mewujudkannya dibutuhkan proses kreatif dan inovatif dari penyelenggara pedidikan. Kebanyakan praktik pendidikan menggunakan model belajar yang cenderung tradisional. Dalam proses pendidikan tradisional, pendidik selalu menganggap siswa  sebagai objek yang tidak memiliki  potensi apapun (impotensi akademik). Pendekatan pendidikan semacam  ini menyebabkan  anak tidak terbiasa menghadapi permasalahan yang muncul secara kritis.
Cara mengajar yang sekedar duduk di depan kelas sesungguhnya menjadi tanda kurangnya dinamisme sebagai seorang pendidik sejati. Bisa jadi ini hanya sebuah simbol dan tidak mewakili sosok guru seutuhnya secara keseluruhan. Jika demikian adanya, seakan jauh rasanya seorang guru dapat menciptakan pembelajaran yang produktif dan profesional. Padalah guru juga memiliki tanggungjawab dalam memodifikasi proses integrasi dan optimalisasi sistem pendidikan di sekolah.
Seharusnya yang dikembangkan adalah pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada active learning sehingga siswa terbiasa aktif dan terbiasa  untuk mencari pemecahan  dari masalah yang timbul.
Guru juga harus mampu menyampaikan pesan moral dan keyakinan agama atas sikap dan perilaku yang dilakukannya.  Artinya dalam setiap performance individualnya, guru harus dapat membawa pesan kepada anak didik untuk menyadari akan adanya dimensi moral dan agama dalam dinamika kehidupan ini.
Bagaimana dengan guru PAI yang sejak awal sudah menyandang predikat berpengetahuan agama yang tentu di dalamnya mengajarkan nilai dan moral yang baik yang berdasarkan tuntunan wahyu?
Peran guru PAI menjadi sangat penting dalam hal ini. Sebab pada dasarnya seorang guru PAI bukan hanya sekadar mengajarkan nash-nash ayat al-Qur’an, ataupun doktrin agama lainnya, tetapi lebih dari itu, Ia juga harus mampu menjadikan dirinya contoh untuk mengamalkannya dalam kehidupan kesehariannya sebagaimana diungkap dalam pepatah guru adalah digugu dan ditiru.
Secara formal PAI bertujuan untuk,  pertama, menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Kedua, mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama  dan berakhlak mulia  yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Guru PAI  di era globalisasi seperti saat ini perlu tampil sebagai pendidik, pengajar, pelatih, sekaligus inovator dan dinamisator secara  integral dalam mencerdaskan anak didiknya. Upaya meciptakan budaya keagamaan atau religious culture di sekolah adalah dalam rangka untuk mengamalkan ajaran dan nilai-nilai yang di ajarkan dan upaya mencari alternatif pemecahan persoalan banhgsa yang semakin karut marut..
Penciptaan religious culture dapat dilakukan dengan mengadakan  berbagai aktivitas keagamaan, seperti sholat berjamaah, mengucapkan salam dan tadarus al-Qur’an.
Budaya keagamaan merupakan kebiasaan yang dilakukan secara rutin dan spontan dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan pelaksanaan nila-inilai agama dan  moral. Kemampuan guru PAI untuk mampu meyakinkan seluruh civitas akademika di lembaga pendidikan, terutama kepala sekolah, akan pentingnya budaya keagamaan adalah kuncinya. Ketika seorang kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan sekaligus penanggung jawab di sekolah sudah memiliki komitmen yang sama dalam menciptakan budaya keagamaan, maka dalam pelaksanannya akan lebih mudah.
Kegiatan berupa membaca al-Qur’an ketika memulai pelajaran dan menutup kegiatan belajar dengan membaca asma’ul husna, membiasakan salam dan sapa antara siswa dan guru ataupun siswa dengan siswa, sholat dzuhur dan jum’atan berjamaah di sekolah, peringatan hari besar keagamaan dan penggunaan baju muslimah bagi siswi yang muslim dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan kegiatan sederhana  yang sesungguhnya memiliki dampak yang positip dalam menciptakann sense of religious siswa.
Kesadaran semua pihak, bukan hanya guru agama, bahwa pembiasaan perilaku keagamaan di sekolah merupakan  alternatif jawaban dari berbagai persoalan bangsa ini sangatlah dibutuhkan. 
 Oleh Abdul Wahid

Label: