Selasa, 26 April 2011

MENJADI 'KARTINI' DI MASA KINI


Peringatan hari lahirnya Raden Ajeng Kartini, atau yang populer dengan R.A. Kartini, pada tanggal 21 April setiap tahunnya menjadi sebuah rutinitas yang cenderung kering nilai dan makna. Acara seremonial ini dilakukan hanya sebatas upacara-upacara yang menggunakan baju tradisional. Biasanya remaja putri dan ibu-ibu yang sibuk pada momen ini.
Peringatan Hari Kartini biasanya ramai di sekolah-sekolah, mulai dari TK sampai SLTA. Di tingkat perguruan tinggi biasanya sudah sangat jarang, hal ini terjadi karena para mahasiswa kebanyakan menganggap bahwa peringatan hari Kartini merupakan agenda anak-anak sekolah saja.
Tentu kita mengharapkan sesuatu yang positif dari kegiatan ini. Artinya, ada manfaat atau hikmah yang bisa diambil oleh anak-anak kita di sekolah, dan masyarakat kita pada umumnya (terutama kau perempuan) dari peringatan hari lahir R.A. Kartini tersebut.
R.A. Kartini adalah seorang putri bangsawan yang berupaya untuk mengangkat derajat kaum perempuan yang terbelenggu oleh tradisi masyarakatnya. Upaya emansipasi yang dilakukan oleh Kartini diketahui dari curahan hatinya melalui surat-menyurat yang dilakukannya dengan seorang bangsawan Belanda.
Seorang perempuan pada saat itu hanya diposisikan pada kelas yang ke sekian di bawah bayang-bayang laki-laki. Perempuan tidak dizinkan oleh orang tuanya untuk sekolah dan menuntut ilmu yang tinggi sebagaimana kaum laki-laki. Begitu pula dalam hal kiprah di masyarakat, perempuan dianggap tidak mampu untuk mengemban tugas sosial kemasyarakatan, seperti menjabat sebagai carik (juru tulis), punggawa keraton (petugas keamanan), demang (jabatan politik di tingkat kecamatan), dan sejenisnya
Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap bahwa peran perempuan pada akhirnya akan kembali menjadi seorang istri yang hanya berkutat pada persoalan domestik (rumah tangga), bukan pada persoalan publik yang membutuhkan kemampuan intelektual. Persoalan domestik kala itu hanyalah berkaitan dengan memasak di dapur untuk makan suaminya, mengurus  anak-anak, dan melayani suami di tempat tidur.
Secara politis kondisi  ini juga sengaja diciptakan dan dibiarkan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika itu agar masyarakat tidak memiliki kemampuan dan wawasan luas sehingga mereka terus menerima kondisi terbelenggu oleh penjajah. Atau dengan istilah lain sengaja dibodohkan.
Pertanyaannya adalah nilai-nilai apa yang bisa diambil dari perjalanan dan perjuangan hidup Kartini bagi generasi muda (terutama siswa-siswi di sekolah) sekarang ini.
Paling tidak ada tiga nilai positif yang dapat diteladani dari perjalanan hidup Kartini. Pertama, keberanian untuk melawan hegemoni kekuasaan ”istana”. Dibutuhkan keberanian dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Sekarang ini, manusia dihadapkan pada berbagai pilihan hidup yang sangat komplek yang membutuhkan keberanian untuk menghadapinya.
Seorang manusia tidak mungkin berhasil ketika tidak memiliki keberanian untuk mengambil sikap. Takut merupakan musuh mereka yang memiliki cita-cita besar sebagaimana yang diimpikan oleh Kartini. Kartini berani melawan  kekuatan ”istana” dan kaum bangsawan demi memperoleh hak dan kewajiban yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan.
Kedua, upaya emansipasi (persamaan hak dan kewajiban) wanita dengan laki-laki. Kartini menuntut adanya kesetaraan gender. Emansipasi merupakan kondisi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan. Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi yang sama. Tidak ada perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan di mata Tuhan. Hanya ketakwaan yang membedakannya. Itulah yang diperjuangkan oleh Kartini.
Sekarang ini, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin pesat, dan dinamika sosial yang sangat komplek, masih sering kita mendengar adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, ada saja perusahaan yang membedakan peran dan fasilitas yang diberikan kepada karyawannya hanya berdasarkan pertimbangan gender, bukan karena pertimbangan kompetensi yang dimilikinya. Tentu hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika kita menghayati perjuangan yang dilakukan Kartini.
Ketiga, berani berkorban. Kerelaan untuk berkorban demi orang lain adalah sesuatu  yang sangat mulia. Sekarang ini, sikap mementingkan kepentingan orang lain  sudah menjadi hal yang langka. Orang cenderung egois, artinya  hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Egoisme  semakin terasa dalam kehidupan perkotaan, di mana orang sangat sibuk dengan kesibukannya masing-masing sehingga cenderung acuh terhadap orang lain, sekalipun tetangganya yang berada di sebelah rumahnya.
Ketiga hal itulah barangkali yang harus ditanamkan pada anak-anak kita dalam momentum peringatan Hari Kartini tahun ini.
Selamat Hari Kartini, semoga kita bisa menjadi ”Kartini” di masa kini.
oleh Abdul Wahid
dimuat di H.U. Pikiran Rakyat, 20 April 2011

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda