Minggu, 06 Februari 2011

bijak menyikapi hari valentine


Tidak dipungkiri lagi, bahwa tradisi masyarakat Barat sekarang ini sudah menjadi barometer kehidupan masyarakat kita, terutama para remaja. Mulai dari cara berpakaian, makanan dan hiburan. Realitas ini disebabkan oleh semakin derasnya informasi yang masuk sebagai buah dari perkembangan teknologi informasi seperti televisi dan internet.
Peristiwa yang terjadi di belahan lain dunia ini dapat langsung disaksikan saat itu juga, sehingga sangat tidak mungkin untuk mencegahnya Yang harus dilakukan oleh orang tua dan seluruh elemen masyarakat adalah memberikan penyadaran agar mereka memiliki penyikapan yang bijak terhadap perkembangann dunia modern tersebut.
Dalam dunia pendidikan, salah satu tugas guru adalah memberikan penyadaran kepada peserta didik agar bersikap benar dalam menghadapi perkembangan dunia. Jika tidak, mereka hanya akan mengambil sisi negatifnya saja dari modernitas ini. Padahal modernitas jika disikapi kurang tepat justru akan membawa petaka bagi perkembangan psikologi mereka. Teknologi ibarat sebuah pedang yang dua sisinya tajam, sehingga kalau tidak hati-hati akan dapat melukai orang yang memegangnya.
BIJAK MENYIKAPI HARI VALENTINE
Ketika memasuki bulan Februari setiap tahunnya, salah satu agenda remaja kita adalah persiapan menghadapi tanggal 14. Tanggal ini di seremonial-kan menjadi sebuah perayaan yang bernama hari Valentine. Secara umum mereka mengartikan hari Valentine sebagai hari kasih sayang yang diwujudkan dengan saling mengucapkan selamat, memberi kado, karangan bunga, cokelat, sampai pesta-pesta ala orang Εropa sana.
Hari Valentine merupakan contoh nyata dari pengaruh budaya global yang masuk dalam masyarakat kita, terutama anak-anak muda yang cenderung kurang selektif dalam menyikapinya.
Permasalahannya adalah bagaimana memberikan penyadaran kepada siswa agar dalam mengekspresikan hari Valentine tidak dengan cara-cara yang bertentangan dengan etika, norma dan agama. Sebab kalau untuk menghapusnya, seolah tidak mungkin untuk dilakukan di tengah derasnya informasi yang menyerbu masyarakat kita.
Berdasarkan amatan penulis, ada tiga sikap masyarakat di indonesia dalam melihat hari valentine ini. Pertama adalah mereka yang dengan sangat tegas melarangnya, yang dalam bahasa agama mereka ungkapkan dengan ”haram”. Kedua adalah yang membolehkannya tanpa adanya reserve, pokoknya boleh sebagaimana yang dilakukan oleh remaja Eropa sana. Dan yang ketiga adalah yang membolehkannya tapi diiringi dengan catatan-catatan tertentu.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita sebagai pendidik bersikap dan sekaligus memberikan solusi bijak kepada anak didik kita. Sebab kalau tidak, justru anak-anak kita yang akan menjadi korban dari penyikapan yang kurang tepat tersebut.
Kalau boleh ikut urun rembug, maka menurut penulis paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan para guru dalam menghadapi fenomenan perayaan hari valentine ini.
Pertama, guru menjelaskan sejarah peristiwa hari Valentine ini. Dalam Ensiklopedia Katolik disebutkan beberapa versi tentang Valentine, diantaranya adalah kisah Raja Claudius II di Romawi yang memandang pria lajang lebih tabah dalam berperang daripada mereka yang telah menikah yang sejak semula menolak untuk pergi berperang dengan pertimbangan keluarga. Maka Claudius II mengeluarkan larangan pernikahan bagi warganya.
Tetapi St.Valentine, seorang tokoh agama Katolik, menentang perintah ini dan terus mengadakan pernikahan dengan sembunyi-sembunyi sampai akhirnya diketahui oleh raja lalu dipenjarakan. Dalam penjara dia berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum mati, dia mengirim sebuah kartu yang bertuliskan “Dari yang tulus cintanya, Valentine”
Kedua, guru memberikan interpretasi terhadap peristiwa sejarah St.Valentine tadi. Diantaranya dengan menyatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan kejadian masa lalu yang memiliki makna khusus dalam agama tertentu yang berbeda dengan keadaan sekarang. Interpretasi ini dimaksudkan untuk membuka pemahaman peserta didik agar mereka juga memiliki pemahaman yang benar.
Dan ketiga, guru menjelaskan cara merayakan hari Valentine. Kalau tetap akan melaksanakannya, maka harus sesuai dengan etika, norma dan agama. Dan jangan merayakannya dengan hal-hal negatif, sebagaimana sering terdengar di media massa, dimana para remaja merayakan hari valentine dengan hura-hura sampai prilaku sex bebas.
Ketiga hal di atas merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam rangka memahamkan anak dalam menyikapi sesuatu. Tentu kita tidak lagi berharap mendengar berita-berita perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak didik kita dalam merayakan hari Valentine. Dibutuhkan sikap bijak guru dan masyarakat dalam menjalankan tugas mulia ini.
oleh Abdul WahidArtikel ini dimuat di Harian Tribun Jabar; 12 Februari 2010

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda