Selasa, 23 Februari 2010

Menciptakan Suasana Religius Melalui Pesantren Kilat

MENCIPTAKAN SUASANA RELIGIUS MELALUI PESANTREN KILAT*

Saat memasuki bulan suci Ramadlan, lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, sibuk mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan satu kegiatan keagamaan tahunan yang dikenal dengan istilah pesantren kilat (Peskil atau Sanlat).
Pesantren kilat atau sering diistilahkan dengan pesantren Ramadlan (Pesram) merupakan kegiatan keagamaan insidental bagi siswa diluar KBM reguler yang berjalan dalam sebuah lembaga pendidikan.
Sekolah biasanya menyediakan waktu sekitar satu minggu pada awal bulan Ramadlan untuk mengisinya dengan berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari yang bersifat teori sampai yang praktis, seperti baca tulis qur’an (BTQ), hafalan do’a sehari-haria dan praktik ibadah harian seperti wudlu, shalat, dan dzikir.
Di antara hal yang menjadi dasar diadakannya pesantren kilat adalah karena pihak lembaga pendidikan umum merasa pemberian materi agama sangat kurang yaitu hanya 2 jam pelajaran dalam satu minggu atau setara dengan 80 menit dalam satu minggu. Sementara materi pembelajaran dalam kurikulum yang harus disampaikan sangat banyak. Alokasi waktu yang tidak proporsional ini mengakibatkan kurang tercapainya tujuan kurikulum dan pemahaman siswa terhadap materi agama yang disampaikan guru kurang mendalam.
Pesanten kilat merupakan salah satu inovasi yang digagas dalam rangka meningkatkan pemahaman keagamaan (religiusitas) siswa. Kata ”pesantren” menunjukan bahwa kegiatan ini mengadopsi sistem pembelajaran yang diselenggarakan di pesantren. Sedangkan ”kilat” menunjuk pada pelaksanaannya yang sangat singkat, sekitar satu minggu.
Menurut Ahmad Tafsir (1991), pakar pendidikan Islam dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, paling tidak ada tiga motivasi sekaligus tujuan diadakannya pesantren kilat di sekolah-sekolah umum.
Pertama, agar anak memiliki akhlak yang baik. Motif ini muncul dari rasa khawatir orang tua akan kenakalan remaja. Sebab, dengan kenakalan anaknya tentu akan mempengaruhi martabat dan kredibilitas orang tua di masyarakat. Pada motif yang pertama ini, motif dan tujuan yang lebih menonjol adalah dalam rangka menjaga nama baik orang tua dari rongrongan kenakalan anaknya.
Kedua, motif mengisi waktu, motif ini muncul karena orang tua merasa bahwa waktu luang seorang remaja adalah sangat berbahaya bila tidak diisi dengan kegiatan yang positif. Dengan kegiatan pesantren kilat inilah maka anak dapat menggunakan waktu luangnya dengan kegiatan positif yang bermanfaat.
Ketiga, motif menutupi kekurangan waktu pendidikan agama di sekolah. Motif ini muncul karena orang tua merasa bahwa pendidikan agama yang diperolah di sekolah masih sangat kurang sehingga membutuhkan waktu tambahan melalui kegiatan agama di luar kurikulum.
Kekurangan waktu pendidikan agama di sekolah memang kurang menjadi perhatian orang tua. Berbeda dengan pelajaran lainnya yang di UAN-kan. Orang tua merasa butuh untuk menambahnya dengan les-les privat di rumah atau memasukannya ke lembaga bimbingan belajar. Hal ini dilakukan karena rasa takut orang tua jika anaknya tidak lulus UAN nantinya. Tetapi ketika kekurangan jam pelajaran agama orang tua jarang yang merasa perlu untuk memberi les-les privat di rumahnya.
Oleh karena itulah, ketika sekolah secara rutin setiap tahun mengadakan kegiatan pesantren kilat, seyogyanya mendapatkan apresiasi yang positif dari seluruh pihak terutama orang tua siswa.
Dalam aplikasinya, pesantren kilat diadakan dengan merumuskan materi, metode, teknik dan pengajar pesantren kilat yang disesuaikan dengan kemampuan panitia penyelenggara dan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Padahal idealnya perumusan materi, teknik dan metode adalah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan keagamaan siswa.
Ada dua alternatif materi yang dapat disampaikan dalam pesantren kilat di sekolah. Pertama, semua materi yang diajarkan dalam kurikulum pendidikan agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam kurikulum. Alternatif pertama ini dilakukan dengan menambah porsi waktu dan metodologi yang digunakan.
Kedua, materi yang disampaikan merupakan materi keagamaan diluar kurikulum PAI. Hal ini dilakukan misalnya dengan menggunakan acuan materi yang disajikan dalam madrasah diniyah atau pesantren, tentunya dengan menggunakan metode yang fleksibel dibanding pesantren dan madrasah diniyah.
Penggunaan alternatif materi yang pertama ataupun yang kedua dalam pesantren kilat di sekolah tidaklah jadi masalah. Yang harus menjadi perhatian utama penyelenggara adalah adanya penciptaan suasana religius sedemikian rupa, sehingga siswa merasakan ada yang berbeda di sekolah mereka. Inilah yang menjadi urgensi dari kegiatan ini, yaitu menciptakan religiusitas melalui pesantren kilat.
*Artikel ini dimuat di Harian Tribun Jabar Edisi 28 Agustus 2009

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda