Sabtu, 12 November 2011

makna idulqurban



Idul adha atau idul qurban merupakan satu dari dua hari raya dalam Islam yang memiliki makna yang sangat istimewa bagi umat Islam. Disebut idul qurban karena di dalamnya ada perintah untuk menyembelih hewan qurban bagi yang memiliki kelebihan harta, sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. serta anak-anak Nabi Adam, a.s.
Sebagaimana ibadah zakat, qurban juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Melalui penyembelihan hewan qurban, ada pemerataan ekonomi. Fakir miskin yang jarang sekali makan daging, bahkan  mungkin tidak pernah, maka dengan qurban ini mereka ikut merasakan nikmatnya makan daging. Para peternak kecil juga ikut merasakan untung dari peristiwa idul qurban ini, karena adanya peningkatan permintaan hewan ternak untuk dijadikan hewan qurban.
Masyarakat Indonesia sekarang ini masih berada dalam tingkat ekonomi yang kurang beruntung, walaupun berada dalam wilayah yang memiliki sumber daya alam yang sangat luar biasa.
Ketika menjelang  Hari Raya Idul Fitri kemarin, kita masih banyak menemukan adanya antrian panjang warga miskin untuk mendapatkan derma berupa zakat dan shodaqoh dari orang kaya, walaupun dalam jumlah hanya sekitar puluhan ribu rupiah. Bahkan sampai ada korban karena berdesak-desakan untuk mendapatkannya. Ini hanya gambaran riil di masyarakat bahwa warga bangsa ini masih berada dalam kondisi ekonomi yang sangat berkekurangan.
Di kota-kota besar, pameran kemiskinan juga sangat jelas penampakannya. Di lampu merah (perempatan jalan raya) banyak sekali ditemukan para tuna wisma, pengemis, pengamen dan sejenisnya yang menggunakan label kemiskinan yang ada padanya untuk mengais rupiah demi mempertahankan hidup. Di sinilah tantangan umat Islam untuk menunjukan kepedulian terhadap sesamanya melalui momentum idul qurban.
Qurban sebagaimana dicontohkan oleh Nabin Ibrahim a.s sesungguhnya bukanlah semata-mata proses menyembelih hewan semata. Ada nilai-nilai  luhur yang sengaja Allah SWT. agendakan bagi umat manusia khususnya umat Islam.
Menurut penulis ada  tiga nilai  luhur yang dapat diambil dari peristiwa qurban ini. Pertama adalah nilai kedekatan kepada Allah (taqarub ilallah). Kesediaan seorang muslim untuk mengorbankan hartanya dalam bentuk hewan qurban akan semakin mendekatkan yang bersangkutan dengan Allah SWT., sebagaimana Nabi Ibrahim a.s, yang rela untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail a.s.,  karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Peristiwa ini diungkapkan dalam Q.S. as-Shofaat (37) ayat 100-107, walaupun pada akhirnya Ismail, a.s. digantikan dengan perintah untuk menyembelih seekor domba, sebagaimana yang dilakukan umat Islam sekarang ini.
Taqorrub ilallah hanya bisa dicapai dengan menjalankan segala apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Mengeluarkan harta yang dimiliki bukanlah sesuatu yang mudah bagi mereka yang cinta harta, tapi dengan qurban ini manusia diharapkan untuk lebih mencintai Allah daripada harta yang ia miliki.
Kedua, nilai ketaatan kepada Allah (tho’atillah). Ketika seorang hamba rela untuk mengorbankan hartanya karena perintah Tuhannya, maka sejatinya itu merupakan bentuk ketaatan yang paripurna. Secara matematis tentu hartanya akan berkurang, tetapi karena ketaatan kepada Tuhan, maka apapun ia lakukan. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s.
Menanti bepuluh-puluh tahun kedatangan seorang anak, tentu membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Setelah lahir seorang anak laki-laki yang saleh, kemudian Allah justru menyuruh untuk menyembelihnya. Inilah cobaan yang sangat berat bagi seorang ayah, tetapi Ibrahim berhasil mengalahkan kecintaan-kecintaan yang bersifat dunia demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah SWT.
Akhirnya sejarah membuktikan, ternyata Allah hanya menguji Ibrahim, sejauhmana kecintaannya kepada dunia ini mengalahkan kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT., dan Ibrahim lulus sehingga mendapat predikat khalilullah (kekasih Allah).
Sesungguhnya ketaatan yang muncul itu adalah ekspresi dari kecintaannya kepada Sang Khalik yang telah menciptakannya. Untuk dapat menjalankannya dibutuhkan kesadaran yang tinggi, dan qurban yang dilakukan merupakan ajang latihan bagi kita untuk mentaati perintah Tuhan.
Ketiga, nilai sosial kemanusiaan. Praktik membagi-bagikan daging qurban kepada fakir miskin dan kaum dhu’afa lainnya yang disyariatkan Islam merupakan bentuk kepedulian terhadap orang yang tidak mampu. Islam menegaskan bahwa ada hak kaum dhu’afa dalam harta yang kita miliki, sehingga harus dibayarkan, diantaranya adalah dengan menyembelih hewan qurban yang dagingnya  dibagikan kepada fakir dan miskin.
Nilai-nilai qurban tersebut haruslah ditanamkan kepada anak didik kita. Anak-anak sekarang ini, di tengah gempuran nilai hedonisme dan materialisme, tentu membutuhkan setuhan nilai ruhani  yang dapat memberikan kesejukan bagi mereka.
Mudah-mudahan generasi mendatang menjadi generasi kholilullah sebagaimana Nabi Ibrahim, a.s. dan Ismail,a.s.
 

Selasa, 03 Mei 2011

DETEKSI DINI GERAKAN NII

Beberapa hari belakangan kita dikejutkan  berita di media massa berkaitan dengan hilangnya beberapa orang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur yang ditengarai diculik oleh kelompok  NII (Negara Islam Indonesia).  
NII bukanlah kelompok baru, melainkan reinkarnasi dari DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). DI adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 oleh S.M Kartosoewirjo di Tasikmalaya. Gerakan ini bertujuan menjadikan  Indonesia sebagai negara teokrasi dengan  Islam sebagai dasar negara.
Menurut NII, NKRI sekarang, adalah Negara kafir karena tidak menggunakan hukum Islam sebagaimana yang difahami mereka. Dalam perkembangannya sekarang, NII eksis  dengan cara bergerilya merekrut anggota, dan sasarannya adalah pelajar dan mahasiswa.
Dalam beberapa kejadian penculikan, NII menggunakan cara pencucian otak (brain wash) untuk meyakinkan anggotanya agar  masuk dalam kelompok mereka.
            Secara umum karakteristik ajaran yang dipropagandakan kelompok ini adalah, pertama, mengkafirkan orang diluar kelompoknya, karena dianggap tidak menjalankan hukum Islam. Kedua, mengajak  hijrah dari NKRI ke NII, ini merupakan analogi  hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Ketiga, menyuruh  untuk mengumpulkan dana perjuangan (jihad) dengan cara apapun, termasuk  harta orang tuanya. Orang tua dianggap kafir sehingga  halal harta dan jiwanya untuk diambil (dicuri).
            Ketika kita   mendapati gejala di atas, maka sudah saatnya untuk mewaspadainya. Upaya yang dapat dilakukan  adalah dengan pemahaman agama yang benar berkaitan dengan ketiga ajaran mereka.  
Pertama, ketika orang sudah bersyahadat, maka ia adalah muslim, terlepas dari bagaimana kualitas ibadahnya. Iman dan kafir bukan didasarkan pada kelompok atau gerakannya, melainkan pada kesungguhannya dalam menjalankan perintah Allah.
Kedua, hijrah sekarang ini adalah hijrah dalam artian ruhani dan jiwa, Dan ketiga, Islam tidak menghalalkan segala cara dalam mencapai suatu tujuan, termasuk dalam mengumpulkan dana. Dalam Islam ada aturan halal dan haram yang harus diperhatikan. Orang tua adalah sosok yang harus ditaati dan dihormati, bahkan ketika beda pendapat dan keyakinan sekalipun.
            Pemahaman keagamaan yang benar diharapkan akan dapat menjadi bekal dalam menghadapi bujukan dan rayuan pihak tertentu yang akan menjerumuskan. Inilah  PR kita bersama.

Label:

Kamis, 28 April 2011

cara cepat dan mudah meraih rejeki



Rabu, 27 April 2011

peluang usaha menjanjikan


Selasa, 26 April 2011

MENJADI 'KARTINI' DI MASA KINI


Peringatan hari lahirnya Raden Ajeng Kartini, atau yang populer dengan R.A. Kartini, pada tanggal 21 April setiap tahunnya menjadi sebuah rutinitas yang cenderung kering nilai dan makna. Acara seremonial ini dilakukan hanya sebatas upacara-upacara yang menggunakan baju tradisional. Biasanya remaja putri dan ibu-ibu yang sibuk pada momen ini.
Peringatan Hari Kartini biasanya ramai di sekolah-sekolah, mulai dari TK sampai SLTA. Di tingkat perguruan tinggi biasanya sudah sangat jarang, hal ini terjadi karena para mahasiswa kebanyakan menganggap bahwa peringatan hari Kartini merupakan agenda anak-anak sekolah saja.
Tentu kita mengharapkan sesuatu yang positif dari kegiatan ini. Artinya, ada manfaat atau hikmah yang bisa diambil oleh anak-anak kita di sekolah, dan masyarakat kita pada umumnya (terutama kau perempuan) dari peringatan hari lahir R.A. Kartini tersebut.
R.A. Kartini adalah seorang putri bangsawan yang berupaya untuk mengangkat derajat kaum perempuan yang terbelenggu oleh tradisi masyarakatnya. Upaya emansipasi yang dilakukan oleh Kartini diketahui dari curahan hatinya melalui surat-menyurat yang dilakukannya dengan seorang bangsawan Belanda.
Seorang perempuan pada saat itu hanya diposisikan pada kelas yang ke sekian di bawah bayang-bayang laki-laki. Perempuan tidak dizinkan oleh orang tuanya untuk sekolah dan menuntut ilmu yang tinggi sebagaimana kaum laki-laki. Begitu pula dalam hal kiprah di masyarakat, perempuan dianggap tidak mampu untuk mengemban tugas sosial kemasyarakatan, seperti menjabat sebagai carik (juru tulis), punggawa keraton (petugas keamanan), demang (jabatan politik di tingkat kecamatan), dan sejenisnya
Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap bahwa peran perempuan pada akhirnya akan kembali menjadi seorang istri yang hanya berkutat pada persoalan domestik (rumah tangga), bukan pada persoalan publik yang membutuhkan kemampuan intelektual. Persoalan domestik kala itu hanyalah berkaitan dengan memasak di dapur untuk makan suaminya, mengurus  anak-anak, dan melayani suami di tempat tidur.
Secara politis kondisi  ini juga sengaja diciptakan dan dibiarkan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika itu agar masyarakat tidak memiliki kemampuan dan wawasan luas sehingga mereka terus menerima kondisi terbelenggu oleh penjajah. Atau dengan istilah lain sengaja dibodohkan.
Pertanyaannya adalah nilai-nilai apa yang bisa diambil dari perjalanan dan perjuangan hidup Kartini bagi generasi muda (terutama siswa-siswi di sekolah) sekarang ini.
Paling tidak ada tiga nilai positif yang dapat diteladani dari perjalanan hidup Kartini. Pertama, keberanian untuk melawan hegemoni kekuasaan ”istana”. Dibutuhkan keberanian dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Sekarang ini, manusia dihadapkan pada berbagai pilihan hidup yang sangat komplek yang membutuhkan keberanian untuk menghadapinya.
Seorang manusia tidak mungkin berhasil ketika tidak memiliki keberanian untuk mengambil sikap. Takut merupakan musuh mereka yang memiliki cita-cita besar sebagaimana yang diimpikan oleh Kartini. Kartini berani melawan  kekuatan ”istana” dan kaum bangsawan demi memperoleh hak dan kewajiban yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan.
Kedua, upaya emansipasi (persamaan hak dan kewajiban) wanita dengan laki-laki. Kartini menuntut adanya kesetaraan gender. Emansipasi merupakan kondisi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan. Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi yang sama. Tidak ada perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan di mata Tuhan. Hanya ketakwaan yang membedakannya. Itulah yang diperjuangkan oleh Kartini.
Sekarang ini, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin pesat, dan dinamika sosial yang sangat komplek, masih sering kita mendengar adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, ada saja perusahaan yang membedakan peran dan fasilitas yang diberikan kepada karyawannya hanya berdasarkan pertimbangan gender, bukan karena pertimbangan kompetensi yang dimilikinya. Tentu hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika kita menghayati perjuangan yang dilakukan Kartini.
Ketiga, berani berkorban. Kerelaan untuk berkorban demi orang lain adalah sesuatu  yang sangat mulia. Sekarang ini, sikap mementingkan kepentingan orang lain  sudah menjadi hal yang langka. Orang cenderung egois, artinya  hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Egoisme  semakin terasa dalam kehidupan perkotaan, di mana orang sangat sibuk dengan kesibukannya masing-masing sehingga cenderung acuh terhadap orang lain, sekalipun tetangganya yang berada di sebelah rumahnya.
Ketiga hal itulah barangkali yang harus ditanamkan pada anak-anak kita dalam momentum peringatan Hari Kartini tahun ini.
Selamat Hari Kartini, semoga kita bisa menjadi ”Kartini” di masa kini.
oleh Abdul Wahid
dimuat di H.U. Pikiran Rakyat, 20 April 2011

Label:

Kamis, 07 April 2011

MAKNA DOA BERSAMA SEBELUM UJIAN NASIONAL



Beberapa hari kedepan anak-anak kita di tingkat SLTA akan  menghadapi Ujian  Nasional (UN), dilanjutkan dengan tingkat SLTP dan terakhir SD. UN merupakan agenda tahunan setiap lembaga pendidikan formal di Indonesia, mulai dari tingkat SD/MI sampai SLTA/Aliyah yang diselenggarakan langsung  oleh pemerintah untuk menilai hasil pembelajaran siswa di tingkat satuan pendidikan.
Setiap tahun, pelaksanaan  UN  selalu menjadi pembicaraan hangat bahkan  kontroversi karena masih terdapat perbedaan sudut pandang dalam menyikapinya. UN sekarang berbeda dengan tahun lalu, yaitu pelaksanaannya setelah ujian sekolah. Perubahan ini dikarenakan perubahan penentu kelulusan. Beberapa tahun ke belakang, nilai UN merupakan penentu kelululusan, sedangkan sekarang ini nilai ujian sekolah juga memiliki peran yang besar dalam menentukan lulus tidaknya siswa yang dilakukan dalam rapat dewan guru di setiap sekolah. Namun demikian UN  tetap menjadi sesuatu membuat sekolah ketar-ketir  menghadapinya.
Do’a Bersama Menjelang UN
Paling tidak ada dua upaya yang dapat dilakukan oleh siswa, guru, dan orang tua dalam menghadapi UN. Pertama, upaya yang bersifat ”lahir”, upaya ini biasanya berupa aktivitas-aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh siswa dan guru. Siswa mengikuti les, diskusi, latihan soal, dan sebagainya. Upaya ini dilakukan seiring kegiatan rutin di sekolah dalam proses belajar mengajar. Upaya lahir yang juga penting adalah mempersiapkan sarana  yang digunakan dalam ujian  sebaik mungkin.
Kedua, upaya yang bersifat ”batin”. Upaya ini dilakukan dengan cara mengadakan aktivitas yang bersifat keagamaan  seperti berdoa bersama di sekolah, sholat, tobat, meminta restu kepada guru dan orang tua dan meningkatkan ibadah lainnya.
Penulis ingin menggarisbawahi kegiatan do’a bersama yang dilakukan di sekolah menjelang UN. Kegiatan do’a bersama sesunguhnya merupakan upaya batin yang diupayakan oleh siswa dan guru dalam rangka menghadapi UN. Di beberapa sekolah sering diistilahkan dengan istighotsah seperti yang sering dilakukan oleh saudara kita kaum nahdliyin. Biasanya kegiatan ini dilakukan dengan membaca al-Qur’an bersama, sholawat, istighfar, tahlil, tahmid, takbir dan bacaan-bacaan lainnya.
Do’a bersama yang dilakukan di sekolah merupakan bentuk pengakuan hamba kepada tuhannya, bahwa apapun upaya yang dilakukan, ujungnya adalah Allah yang akan memberikan keputusan terbaik untuk hambanya, termasuk hasil UN. Jika do’a bersama ini dilakukan dengan baik, maka menurut hemat penulis akan dapat meningkatkan ketawakalan siswa kepada Allah SWT.  
Bimbinglah anak, dalam do’anya, agar menyadari bahwa selama ini ia begitu banyak melakukan kesalahan dan dosa, sehingga perlu untuk minta ampun dalam bentuk istighfar dan do’a lainnya. Sebagai mahluk yang meyakini adanya Tuhan, yakinkan bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Allah dengan segala kekuasaan yang dimilikinya mampu merubah segala yang ada sesuai dengan qudrah dan iradah-Nya.
Galilah emosi anak dengan mengungkapkan beberapa kejadian dalam hidup ini (muhasabah), seperti pengorbanan orang tua terhadap anaknya, terutama ibu. Sementara pada saat yang bersamaan sang anak justru lebih banyak melakukan kesalahan yang menyebabkan orang tua malu. Dilanjutkan dengan mengungkapkan dosa-dosa yang sering dilakukan, seperti meninggalkan kewajiban-kewajiban agama, perilaku yang membuat malu guru dan orang tua  dan sebagainya. Biasanya anak yang tersentuh emosinya akan menangis.
Kemukakan juga hal-hal yang menurut prediksi kita  tidak akan terjadi, tapi terjadi. Dan sebaliknya hal-hal yang diperkirakan akan terjadi, kemudian tidak terjadi. Simpulkan bahwa itu semua adalah kekuasaan Allah.
Upayakan, dalam do’a yang dipanjatkan, tidak  mendikte Allah SWT. untuk memberikan kelulusan. Mohonlah yang terbaik kepada-Nya. Sebab hanya Allahlah yang tahu hal-hal terbaik yang cocok buat kita. Karena Allahlah yang menciptakan.  Yang menciptakan pastilah lebih tahu apa yang baik dan tidak baik bagi yang diciptakannya.
Permohonan semacam ini juga merupakan implementasi dari tauhid kita kepada Allah. Orang yang sudah bertauhid dengan benar, maka ia akan sadar bahwa apapun yang diberikan oleh Allah adalah bentuk dari kasih sayangnya.
Janganlah sekali-kali timbul dalam  hati kita perasaan ragu terhadap kekuasaan Allah SWT. Ujian Nasional bukan segala-galanya. Kita tidak akan mati jika tidak lulus UN. Atau kita dijamin masuk surga ketika lulus UN. UN hanyalah satu dari banyak indikator kesuksesan dalam hidup. Oleh karena itulah kita harus bijaksana dalam menghadapinya.
Semoga Allah SWT. memberikan yang terbaik untuk hamba-hambanya yang senantiasa berusaha dan tawakal. (dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 5 April 2011
Oleh Abdul Wahid

Minggu, 27 Maret 2011

Problematika PAI Di UAN-kan


Ada perubahan dalam pelaksanaan Ujian Nasional tahun  2011 ini, yaitu  acuan kelulusan siswa tidak hanya dari nilai UN, akan tetapi juga menggunakan unsur Ujian Sekolah (US) dan nila-inilai pada semester sebelumnya dengan menggunakan rasio 60 dan 40 untuk UN dan US. Hal lain yang berbeda adalah waktu pelaksanaan UN yang biasanya mendahului US, sekarang sebaliknya (Tribun Jabar, 11 Januari 2011).
Khusus pada mata pelajaran PAI, maka ada perubahan yang cukup signifikan, yang tadinya hanya sebagai UAS saja, sekarang sudah menjadi USBN atau Ujian  Sekolah Berstandar Nasional, dan konon ke depan akan menjadi bagian dari UN. Perubahan status ini secara otomatis menjadikan guru PAI harus siap-siap dengan berbagai kegiatan sebagaimana yang dilakukan oeh guru pelajaran yang di UNkan, seperti mengadakan pemantapan, pengayaan, try out dan lainnya.
Dan, tak mengherankan pula bila menjelang UN banyak acara doa bersama yang digelar di sekolah-sekolah. Dengan doa bersama tersebut, mereka berharap dapat lolos dari medan pertempuran UN dengan baik, dan ”sukses” mencapai target yang sudah di gadang-gadang sejak awal tahun ajaran baru.
Kembali ke PAI, alasan di USBNkannya PAI, konon adalah dalam rangka meningkatkan bargaining position (posisi tawar) PAI di sekolah khususnya, dan di masyarakat pada umumnya. Selama ini PAI dianggap sebagai pelajaran yang kurang begitu penting.
Dengan PAI menjadi USBN, maka pihak sekolah dan pihak lain yang terkait dengan pendidikan akan berupaya untuk lebih memperhatikan PAI, karena khawatir  nilai USBNnya rendah sehingga akan menjadikan citra buruk bagi sekolah dan dinas terkait.
Kalau kita mencoba untuk mencermati perubahan ini, maka ada dua  hal menarik dalam rencana PAI di UN-kan. Pertama, harus disadari bahwa ada karakteristik yang berbeda antara PAI dengan pelajaran yang selama ini di UN-kan. Pada pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan lainyya, penilaian aspek kognitif merupakan titik tekan utama, disamping aspek afeksi dan psikomotor.
Selama ini guru dan bahkan masyarakat merasa bahwa tidak ada kaitannya antara pelajaran-pelajaran  tersebut dengan moralitas, afeksi dan nilai-nilai spiritual, sehingga ketika alat ukur hasil akhirnya menggunakan ujian tertulis saja berupa UAN, maka tidak menjadi persoalan.
Akan tetapi berbeda halnya dengan PAI yang di dalamnya memuat hal yang bersifat keyakinan atau keimanan, akhlak, kejujuran, moralitas dan niali-nilai agama yang lainnya, maka alat ukur ujian tulis saja tidak akan cukup.
Keimanan kepada Tuhan,  sebagaimana diketahui bersama merupakan sesuatu yang abstrak yang berhubungan dengan hati nurani seorang manusia. Ukuran keberimanan seseorang adalah perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berkaitan dengan ibadah mahdhah (hubungan langsung dengan Allah) maupun ghair mahdhah (hubungan dengan sesama manusia). Keduanya sangat sulit untuk di ukur kalau hanya dengan menggunakan ujian tulis sebagaimana US. Inilah yang menjadi persoalan prinsip ketika hendak menjadikan PAI sebagai bagian dari UN.
Kedua, persoalan di lapangan, dimana sudah menjadi rahasia umum ketika akan menghadapi UN, maka pihak sekolah sampai dinas pendidikan sibuk untuk membuat ”tim sukses”.  Tim ini bertugas untuk mengurusi hal ihwal yang dapat memuluskan jalan agar target kelulusan tercapai. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa yang terjadi dalam pelaksanaa UN  di beberapa tempat setiap tahun adalah kebocoran soal, jual-beli jawaban, pemanfaatan HP untuk mengirim jawaban soal UN dan pelanggaran lainnya. Kesemuanya merupakan perilaku menyimpang yang sangat ditentang oleh PAI.
Apa jadinya jika dalam pelaksanaannya nanti, nilai PAI yang diperoleh didapat dengan cara yang tidak benar sebagaimana disebutkan di atas. Sungguh sebuah kemunafikan yang luar biasa. Hanya untuk mengejar kelulusan dan harga diri sekolah, kemudian mengorbankan nilai-nilai luhur dan kejujuran yang diajarkan dalam PAI.
Dari problem-problem di atas, maka sudah seharusnya untuk dikaji ulang rencana PAI di UNkan. UAN sendiri sesungguhnya masih menjadi pro dan kontra. Dengan beragam argumentasi orang menyatakan pendapatnya, baik yang  pro maupun yang kontra.
            Sejatinya UN dan US merupakan ujian bagi guru. Ujian kejujuran dan keseriusan dalam mengusung moralitas. Melalui hasil UN dan US juga guru dapat mengevaluasi proses pembelajaran, apakah  telah mencapai tujuan atau tidak. Semoga kita mampu untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anak didik kita, sehingga kelak mereka mampu menjadi generasi yang jujur dan memiliki integritas moral yang tinggi.

Oleh Abdul Wahid

Label: