Kamis, 25 Februari 2010

Rumahku Surgaku

RUMAHKU SURGAKU

(INDIKATOR KELUARGA SAKINAH) *

“Rumahku Surgaku”, inilah ungkapan sederhana rasul ketika menjelaskan kondisi keluarganya. Dengan kondisi keluarga beliau yang penuh dengan kesederhanaan, ternyata beliau tetap berucap bahwa rumahku adalah surgaku. Pertanyaannya adalah mengapa rasul mampu untuk itu? Maka jawabannya adalah karena rasul mencintai pasangan hidup dan semua anggota keluarganya.

Cinta seorang suami kepada istrinya, dan sebaliknya, merupakan bibit yang harus ditumbuhkembangkan dalam membina rumah tangga. Apapun kondisi keluarga yang dihadapi. Sebagaimana keimanan, maka rasa cinta juga mengalami fluktuatif (naik dan turun). Antara cinta dan iman merupakan sesuatu yang tidak berbeda. Keduanya merupakan bahasa hati dan jiwa yang dimiliki manusia. Iman merupakan ungkapan jiwa manusia terhadap keberadaan tuhannya, sedangkan cinta dalam pengertian secara khusus merupakan ungkapan jiwa untuk sesamanya. Dalam arti yang lebih luas, pendefinisian cinta ini akan merambah kemana-mana, akan tetapi dalam tulisan ini dibatasi pada hubungan sesama manusia.

Dalam kehidupan rumah tangga, seorang suami yang mencintai istri dan anak-anaknya juga mengalami hal yang sama, yaitu naik dan turun. Uangkapan di atas mungkin dapat diralat menjadi, cinta seorang suami kepada istrinya dan juga sebaliknya akan mengalami fluktuasi. Kenapa penulis kemudian menghilangkan unsur anak? Maka jawabannya adalah karena orang tua mustahil untuk tidak mencintai anaknya.

Kenapa kita sering mendengar berita ada orang tua yang menganiaya anaknya? Itu barangkali kejadian yang sifatnya sangat sangat kecil persentasenya, atau mungkin orang tua yang melakukannya adalah mereka yang tergolong ke dalam kelompok orang tua yang punya gangguan jiwa.

Kembali pada naik turunnya cinta seorang suami kepada istrinya dan istri kepada suaminya. Seorang suami dan istri merupakan pasangan yang berasal dari keluarga dan latar belakang yang sangat berbeda. Hal ini menyebabkan mereka mempunyai karakter dan kebiasaan yang berlainan pula. Tekad untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis atau sakinahlah yang menjadi bibit cinta mereka.

Namanya juga bibit, maka ia akan tumbuh berkembang menjadi besar dan berbuah atau sebaliknya ia kering dan akhirnya mati. Faktor yang mempengaruhinya adalah sejauh mana pemeliharaan dari sang empunya bibit tersebut, apabila ia siram tiap hari dan dikasih pupuk, maka insya Allah akan tumbuh subur dan menghasilkan buah yang diinginkan, akan tetapi jika yang empunya lalai untuk menyiram dan memberi pupuk maka bibit akan kering dan mati.

Seorang suami dan istri jika ingin mendapatkan sebuah cinta diantara mereka yang harmonis, maka yang harus dilakukan adalah “menyiram” dan “memupuk” bibit cinta yang telah ada. Ada beberapa hal yang patut dilakukan dalam rangka menumbuh kembangkan cinta yang telah ada, dan ini nantinya akan berimplikasi pada kesehatan mental suami istri tersebut, yaitu:

  1. Merasa Amanah

Ikatan suami istri yang terjalin harus diyakini oleh keduanya sebagai sebuah amanah yang Allah titipkan kepada mereka. Keyakinan ini akan berdampak pada satunya visi mereka dalam mengarungi bahtera kehidupan, sehingga apapun aral melintang yang menghadang, maka mereka akan siap menghadapinya.

  1. Saling Percaya

Kepercayaan dari pasangan hidup merupakan modal utama dalam hidup berumah tangga. Seorang istri percaya kepada suaminya ketika beraktifitas di luar rumah, begitupun suami percaya kepada istrinya ketika ditinggalkan di rumah. Hal ini akan menyebabkan suami tenang menjalankan semua tugasnya, dan istri merasa lega melepas kepergian suami ke luar rumah.

  1. Menerima apa adanya dan saling memahami kondisi pasangan (deep understanding).

Menerima apa adanya adalah sebuah respon positif yang harus dikembangkan. Suami istri merupakan manusia biasa yang tentunya memiliki keterbatasan. Apapun yang ada dan terjadi sekarang ini, maka itulah adanya yang harus diterima dan dinikmati. Ketika perasaan untuk menerima apa adanya ini tidak ada, maka yang akan timbul adalah rasa tidak puas, apalagi yang dijadikan pembanding adalah mereka yang berada pada strata yang lebih tinggi.

  1. Tidak suka mencari-cari kesalahan dan kekurangan pasangan, tetapi sebaliknya pandai melihat kekurangan dan kesalahan diri.

Seorang suami dan istri harus selalu melihat sisi positif dari pasangannya, tidak sebaliknya melihat yang negatif. Akibat yang akan timbul jika selalu melihat yang negatif dari pasangannya adalah adanya ketidakpuasan dan perselisihan, karena a merasa lebih dibanding pasangannya. Yang seharusnya dilakukan adalah saling mencari kekurangan masing-masing, setelah itu bicarakan diantara keduanya dan cari jalan pemecahan dari kekurangan tersebut.

  1. Memiliki kendali diri yang kuat di kala menghadapi situasi kritis

Pengendalian diri merupakan kata kunci dalam rumah tangga. Ketika semua unsur dalam keluarga sudah mampu untuk mengendalikan dirinya, maka keharmonisan akan tercapai. Bahkan Nabi pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim, “Ada empat situasi kritis yang Allah mengharamkannya masuk neraka dan menjauhkannya dari syetan yaitu orang yang dapat menguasai diri ketika senang, susah, nafsu syahwatnya yang memuncak, dan marah”

Kelima hal tersebut diatas menurut hemat penulis akan mampu menjadi pupuk bagi tumbuh kembangnya cinta suami dan istri dalam sebuah rumah tangga, sehingga bisa mewujudkan sebuah keluarga harmonis yang sakinah yang didasari rasa cinta diantara semua anggota keluarga tersebut.

Begitu berat tantangan keluarga pada zaman sekarang ini. Penetrasi budaya dan aliran informasi yang tak terbendung mengakibatkan rentannya daya tahan dari sebuah rumah tangga. Tiap hari mereka disuguhi dengan berita-berita tentang perceraian dan perselingkuhan dalam berbagai infotainment yang tak terhitung jumlahnya di media massa. Disadari atau tidak asupan informasi tersebut akan masuk dalam diri dan membuat sebuah pencitraan bahwa apa yang terjadi tersebut (konflik rumah tangga) merupakan hal yang biasa yang tidak perlu dirisaukan.

Na’udzu billah dari sikap tersebut. Maka sudah seharusnyalah sebuah keluarga muslim mengkondisikan keluarganya sehingga terhindar dari konflik rumah tangga, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada generasi mendatang yaitu anak-anak kita.

* artikel ini dimuat di Media Pembinaan Edisi Juni 2008

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda