Jumat, 25 Juni 2010

Husnudzon Kepada Allah

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah SWT mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 216).

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia memiliki pengetahuan yang sedikit tentang segala sesuatu yang terjadi. Allahlah yang mengetahui dibalik segala sesuatu yang terjadi. Manusia terkadang mendahulukan nafsunya, sehingga ketika menerima kenyataan hidup yang berbeda dengan yang ia harapkan, ia mencari sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pelampiasan kesalahan (mencari kambing hitam).

Allah pun tidak luput dari tuduhan buruk manusia. Allah bahkan sering disalahkan sebagai tuhan yang tidak memberikan taqdir terbaik kepadanya. Lantas, bagaimana seharusnya manusia menyikapi ketentuan Allah SWT.? Jawabannya adalah husnudzon atau baik sangka kepada taqdir Allah SWT.

Musibah merupakan kejadian yang sering menyebabkan manusia suudzon (buruk sangka) kepada Allah. Musibah hanya dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan dan menghinakan manusa.

Padahal, musibah paling tidak memiliki tiga makna. Pertama, musibah sebagai hukum sebab akibat. Artinya musibah yang terjadi adalah akibat dari ulah manusia sendiri, seperti banjir, tanah longsor, wabah penyakit. Itu semua disebabkan karena manusia tidak serius dalam mengelola alam dan berpaling pada aturan yang telah ditetapkan-Nya. "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah SWT, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu adalah dari kesalahan dirimu sendiri. (QS An-Nisa [4]: 79).

Kedua, musibah merupakansarana penebus dosa. Allah SWT menghendaki datangnya musibah berupa kesusahan, rasa sakit, kekurangan harta, dan kematian tidak lain sebagai penghapus dosa hamba-hambanya. "Apabila Allah SWT menghendaki kebaikan bagi hamba-hambanya, maka didahulukan baginya hukuman di dunia dan bila Allah SWT menghendaki keburukan, maka dibiarkan dengan dosa-dosanya, sehingga dosa-dosanya itu dibalas pada hari kiamat." (HR Abu Daud).

Ketiga, musibah adalah ujian untuk kenaikan derajat di sisi-Nya. "Sesungguhnya orang-orang saleh akan diperberat (musibah) atas mereka. Dan tidaklah seorang Mukmin tertimpa suatu musibah, seperti tertusuk duri, atau lebih ringan dari itu, kecuali akan dihapuskan dosa-dosanya dan ditingkatkan derajatnya." (HR Ahmad, Ibnu Hiban).

Dalam hadits Qudsi disebutkan, "Siapa saja yang tidak rela terhadap ketetapan-Ku dan tidak berlaku sabar terhadap cobaan-Ku dan tidak bersyukur terhadap nikmat-nikmat-Ku, maka carilah olehmu Tuhan selain Aku."

Tak ada cara lain kecuali berserah diri kepada Allah SWT, berprasangka baik dan selalu beristighfar memohon ampun kepada-Nya. Karena, bisa jadi yang tidak kita sukai justru baik bagi kita, sebaliknya, bisa jadi yang kita sukai justru akan mencelakakan kita. Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang sabar dan selalu husnudzon terhadap ketentuan Allah SWt.

Label:

Rabu, 16 Juni 2010

Ikhlas Dalam Hidup

Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Rabb kami dan Rabb kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskankan hati". (Q.S. AlBaqarah; 2: 139), demikian salah satu ayat yang menjelaskan kewajiban untuk ikhlas dalam hidup.

Ikhlas adalah ruh bagi setiap aktivitas orang yang beriman. Ikhlas diwujudkan dalam niat yang lurus, bahwa pekerjaan yang dilakukannya hanya mencari ridha Allah SWT.

Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi amat penting dan akan membuat hidup ini sangat mudah, dan lebih bermakna. Sebagaimana peristiwa Ali bin Abi Thalib dalam suatu peperangan berhadapan satu lawan satu dengan kaum kafir Quraisy. Dari pasukan kaum muslim majulah Ali bin Abi Thalib ke tengah arena melawan seorang jago dari kaum kafir Quraisy, keduanya merupakan jago perang yang diandalkan.

Dengan kehebatannya, mereka menegeluarkan keahlian masing-masing, sehngga pertempuran berjalan sangat imbang. Akhirnya Ali dapat menjatuhkan lawannya. Disaat Ali akan menebas leher lawan yang terjatuh itu, saat itu pula lawannya meludahi wajah Ali, sehingga Ali sangat marah, mukanya telihat merah, tetapi anehnya Ali menarik pedangnya dan tidak jadi membunuh lawannya.

Para sahabat kaget dan bertanya: "Wahai Ali, kenapa engkau tidak jadi membunuh lawanmu"? Dengan tenang Ali menjawab, "Semula aku akan membunuhnya karena ingin mencari ridha Allah, tetapi disaat dia meludahi wajahku, aku takut, aku membunuhnya tidak lagi karena Allah tetapi karena kemarahan dan kebencian, saya takut pekerjaanku tidak diterima di sisiNya, karena itu aku tarik lagi pedangku dari lehernya", jawab Ali bin Abi Thalib.

Dalam Islam, setiap akan melakukan aktivitas terlebih dahulu harus niat dalam hati bahwa pekerjaan yang dilakukan itu merupakan manifestasi ibadah kepada Allah SWT, dan mencari ridhoNya.

Apapun yang dilakukan, kalau tujuan kita hanya kepada Allah, itulah ibadah yang ikhlas. Oleh karena itu, jangan terjebak oleh rekayasa-rekayasa. Allah sama sekali tidak membutuhkan rekayasa apapun. Allah Mahatahu segala lintasan hati, dan Mahatahu segalanya!

Seorang hamba yang ikhlas (mukhlish) akan merasakan ketentraman jiwa, dan ketenangan batin. Karena ia tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan pujian, penghargaan, dan imbalan. Kita tahu bahwa penantian adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Begitu pula menunggu diberi pujian, juga menjadi sesuatu yang tidak enak. Lebih tidak enak lagi kalau yang kita lakukan ternyata tidak dipuji orang.

Seorang mukhlish tidak akan pernah mengharapkan apapun dari siapapun, karena kenikmatan baginya bukan dari mendapatkan, tapi dari apa yang bisa ia dipersembahkan dan ridha Allah semata.

Label:

Rabu, 09 Juni 2010

Al-'Adlu

Para ahli tafsir mendefinisikan istilah adil sebagai menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ada juga yang menyatakan bahwa adil adalah memberikan kepada pemilik hak, haknya, melalui jalan yang terdekat. `Adil juga bermakna pertengahan, moderasi, lurus, adil, sama.

Allah memiliki sifat Al-`Adl, artinya Allah bebas dari penindasan, atau bebas dari ketidakadilan dalam keputusan dan perbuatan-Nya. Dia justru memberikan kepada siapa pun apa yang menjadi haknya, dan meletakan segala sesuatu pada tempatnya yang benar.

Dalam Al-Quran banyak ayat yang memerintahkan agar manusia berlaku adil dalam menghadapi berbagai perkara, sebagaimana yang dilakukan oleh Allah kepada mahlukNya, diantaranya adalah surat An-Nisaa: 58, yang memerintahkan agar adil ketika menetapkan suatu hukum.

Keadilan dalam memutuskan suatu perkara adalah bagian tak terpisahkan dari sifat amanah. Islam mengajarkan bahwa amanah (kepercayaan) adalah asas keimanan dalam beragama. Nabi SAW. bersabda: “Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah.” Artinya salah satu parameter keberimanan seorang muslim adalah sejauhmana ia mampu menjalankan amanah yang ia pikul.

Amanah juga merupakan satu dari empat sifat wajib yang ada pada diri seorang rasul. Dengan sifat amanahnya, para rasul adalah orang yang sangat dapat dipercaya oleh umatnya, sehingga tidak ada sedikitpun celah untuk mengingkari ajaran-ajaran yang dibawa oleh mereka.

Ketika manusia melakukan ketidakadilan, maka akan ada orang yang teraniaya atau terdzalimi. Nabi saw. mengajarkan agar kita hati-hati terhadap orang yang di dzalimi. Beliau bersabda: “Berhati-hatilah! Doa orang yang teraniaya diterima Allah, walaupun dia durhaka, (karena) kedurhakaannya dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri” (HR. Ahmad dan al-Bazzar melalui Abu Hurairah).

Allah swt. adalah Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana terhadap semua hamba-Nya, karena Allah swt. tidak mempunyai kepentingan apa-apa dari perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hambaNya.

Jika manusia berbuat kebaikan, maka tidak akan mempengaruhi Kemahaadilan-Nya. Demikian juga jika manusia berlaku dzalim kepada-Nya, maka itupun tidak akan mengurangi Kemahaadilan-Nya. Apa yang diperbuat oleh manusia, apakah kebaikan atau kelaliman, hasilnya akan diterima oleh manusia itu sendiri.

Dalam Q.S. Fushshilat: 26 Allah menjelaskan: ”Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.”

Sebagai sifat Allah, Al-’Adl menunjukkan bahwa Dia adalah Tuhan yang seadil-adilnya, tidak memihak kepada siapa pun dalam mengambil keputusan, sehingga, “…tidak ada orang yang dirugikan sedikitpun, dan akan memperoleh balasan sesuai dengan perbuatan yang pernah dilakukan,” (QS. Yasin: [36]: 54). Keadilan Allah akan Dia perlihatkan ketika di dunia ini juga di akhirat kelak.

Semoga kita mampu menjadi orang yang dapat berlaku adil, sebagai upaya meneladani sifat Al-’Adlu yang dimiliki Allah SWT., amiin.

Label:

Selasa, 01 Juni 2010

MEWUJUDKAN ISLAM SEBAGAI AGAMA MORAL

Betapa saratnya pesan moral atau akhlak dalam Islam, secara mudah dapat diketahui dari misi kerasulan Nabi Muhammad SAW itu sendiri, dimana beliau tidak diutus kecuali untuk memperbaiki moral atau untuk memperbaiki akhlak sehingga tercipta akhlak yang mulia.

Ketika seorang sahabat bertanya kepada Aisyah tentang persoalan moral ini, maka dijawab Aisyah bahwa standar akhlak Rasulullah adalah Al-qur’an. Bahkan Allah sendiri memuji Nabi dengan kalimat “wa innaka la’ala khuluqin ‘adhiim” (sesungguhnya engkau berakhlak luhur) (Q.S. Qaf: 4). Menurut rasulullah, sebaik-baik manusia adalah yang berakhlak (H.R. Bukhari Muslim), dan yang sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya (H.R. Tirmidzi)

Dalam Islam, antara ibadah ritual dan moralitas mempunyai kedudukan yang seimbang. Allah secara tegas dalam surat al-Mauun menyatakan tentang celakanya orang yang tidak menjunjung moralitas terhadap sesamanya, bahkan lebih tegas lagi dianggap sebagai pendusta agama.

Islam adalah suatu sistem yang komplit dan hidup, saling mengisi antara persoalan ritual dan pesoalan moral, antara kewajiban individu dan sosialnya. Ringkasnya, dalam perspektif Islam tidak pernah ada sekularisasi (pemisahan) aktivitas ritual-sakral dengan moral-sosial. Yang ada hanyalah keunggulan makna ibadah. Islam memandang aktivitas sosial-profan mempunyai makna sakral, selama aktivitas itu diiringi dengan niat yang ikhlash dalam rangka mencari ridlo-Nya. Juga aktivitas ritual seperti sholat, akan mempunyai implikasi sosial jika dilaksanakan dengan khusyu dan benar.

Jelaslah, bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi moral, namun masalahnya tidak berhenti di situ, tetapi bagaimana mengupayakan agar moralitas sebagai substansi Islam tersebut dapat merealita dalam kehidupan umat? Jawabannya ada pada proses pendidikan Islam Untuk itu, hemat penulis ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan kita.

Pertama, pendidikan Islam perlu diarahkan agar umat memahami doktrin-doktrin Islam secara utuh dan menyeluruh, tidak berkutat pada masalah ritual beserta rukun-rukunnya saja. Tidak juga dilakukan dengan pendekatan fiqhiyah dari salah satu madzhab saja. Tetapi dimulai dari doktrin global tentang hakikat utama Islam, hakikat Allah SWT., rasul, al-qur’an, hakikat manusia itu sendiri, misi dan tugas penciptaan manusia, hakikat ibadah, ukhuwah, sejarah, kondisi kontemporer umat dan sebagainya.

Dengan pemahaman umat yang tidak hanya fiqh oriented, apalagi fanatik terhadap salah satu madzhab, maka umat Islam akan menjadi manusia yang komprehensif dalam memahami ajarannya. Kecenderungan dari fanatisme madzhab adalah timbulnya perpecahan dalam umat Islam. Umat menghabiskan energinya hanya untuk memperdebatkan masalah-masalah seputar fiqh yang nota bene merupakan masalah khilafiyah (debatable) yang tidak substansial.

Umat Islam harus disodori dengan realitas ketertinggalan mereka dari umat lain yang sudah lebih dulu maju dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai. Rangsangan untuk mengejar ketertinggalan inilah yang seharusnya lebih mengemuka.. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam sejak awal mengetahui target capaian yang harus mereka perjuangkan yaitu mengejar ketertinggalan.

Kedua, pendidikan Islam perlu diarahkan pada pencerahan hati dan kecerdasan emosional (emotional quotion), tidak hanya pada tataran kognitif, agar umat mempunyai wawasan akidah, ruhiyah dan moral yang tinggi, kemampuan empati, kemampuan penghayatan dan interaksi dengan nilai-nilai Islam serta peka terhadap persoalan-persoalan kolektif yang dihadapi.

Penekanan pada pencerahan hati dan kecerdasan emosional adalah agar umat Islam, sekali lagi, tidak terjebak pada aktivitas fisik ritual tanpa makna yang meresap dalam hati sanubarinya. Rasa yang dimiliki manusia akan membawa pada totalitas kehidupan keagamaan yang komprehensif. Rasa dan emosi manusia yang terasah dengan baik akan membawa sang empunya pada aplikasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan kesehariannya.

Dalam proses pendidikan Islam, kecenderungan yang muncul adalah adanya penekanan yang berlebih pada aspek kognitif semata. Pendidikan Islam yang lebih menekankan pada tataran kognitif nampak dari output pendidikan yang mahir dalam menyebutkan keutamaan-keutamaan dari suatu aktivitas keagamaan, akan tetapi mereka sangat kering pengalaman dan pengamalan aktivitas keagamaan tersebut. Hal ini terjadi karena dalam dunia pendidikan Islam, kognitiflah yang menjadi titik tekannya, padahal justru afeksilah yang harus lebih ditekankan.

Penekanan pada afeksi akan nampak pada usaha stake holder pendidikan Islam untuk menciptakan sebuah regulasi (kurikulum) sedemikian rupa yang lebih fokus pada usaha menciptakan sikap (afeksi) dari anak didik. Sikap yang dibentuk dari pengalaman dan pengamalan keagamaan agar berbanding lurus dengan meningkatnya keyakinan umat akan ajaran agama yang dianutnya.

Dan ketiga, umat perlu mendapatkan latihan-latihan (keterampilan) sehingga memiliki skill dan bukan hanya value, sehingga mereka terampil dalam beramal dan menyelesaikan masalah-masalah yang komplek. Poin ketiga ini mengindikasikan perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam dunia modern yang semakin mengglobal ini, umat Islam dihadapkan pada sebuah situasi persaingan yang sangat tinggi. Dalam seluruh aspek kehidupan umat Islam sangat tertinggal. Diantara sebabnya adalah tidak dimilikinya skill atau keterampilan umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Umat Islam sangat tergantung kepada dunia luar. Dalam kondisi yang demikian inilah umat Islam digerakan dan didikte oleh mereka.

Inilah tantangan bagi pendidikan Islam untuk secara serius menggarap masalah peningkatan skill hidup umat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara penyediaan berbagai macam program keahlian dalam dunia pendidikan yang skill oriented. Selama ini yang nampak adalah program-program yang value oriented yang lebih dominan. Tentu hal ini memerlukan sebuah perubahan paradigma yang cukup fundamental dari sesuatu yang value oriented menuju yang skill oriented yang lebih menawarkan program-program yang bersifat keterampilan praktis yang dibutuhkan umat Islam.

Islam sebagai agama moral perlu difahami secara integral agar ia menjadi penggerak dan sumber motivasi dalam membangun keunggulan-keunggulan bagi umat Islam. Pada titik inilah perlunya membelah simbol-simbol, menguak isi, lalu mereguk manisnya sari Islam, agar umat tidak berjalan di tempat dan memboroskan energi yang tersimpan. Wallahu a’lam.

Label: