Kamis, 25 Februari 2010

MERANGSANG GURU MENULIS BUKU PELAJARAN

MERANGSANG GURU MENULIS BUKU PELAJARAN*


Salah satu instrumen penilaian dalam sertifikasi guru adalah prestasi akademik yang berhubungan dengan pengembangan profesi berupa mengikuti kegiatan ilmiah dan membuat karya tulis ilmiah berupa artikel, makalah, buku dan sejenisnya.

Instrumen penilaian ini sangatlah wajar, karena profesi guru adalah profesi dinamis yang menuntut pelakunya untuk senantiasa respon terhadap perkembangan dan dinamika ke-ilmiah-an. Respon ke-ilmiah-an ini dapat dilakukan dengan cara membaca karya-karya ilmiah yang behubungan dengan mata pelajaran yang di-ampu-nya dan menulis karya ilmiah berupa artikel, makalah, buku dan sebagainya.

Tradisi menulis bukanlah sebuah tradisi tumbuh begitu saja. Diantara hal yang dapat dilakukan guru dalam rangka merangsang tumbuhnya tradisi ini adalah dengan menulis dan mendokumentasikan segala macam dokumen pembelajaran yang berlangsung. Kebiasaan ini akan membawa pada terdokumentasikannya setiap aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Dari dokumen-dokumen pembelajaran inilah kemudian dapat dikembangkan menjadi sebuah karya tulis berupa buku, diktat, makalah, artikel dan lain sebagainya.

Paling tidak ada tiga faktor yang menjadi kendala bagi guru untuk menulis sebuah karya ilmiah. Pertama, tidak adanya waktu luang yang cukup untuk melakukan kontemplasi dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Di tengah timbunan tugas mengajar dan beban tugas administratif yang tak pernah putus, guru sangat sibuk menjalani profesinya. Bahkan, punya waktu untuk membaca saja, bagi guru barangkali sudah menjadi sangat istimewa.

Kedua, tidak adanya rangsangan insentif memadai dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan profesi guru seperti pemerintah dan institusi pendidikan yang dikelola masyarakat. Di Indonesia, pemerintah dan institusi pendidikan swasta kurang menjanjikan akan memberikan insentif kepada guru yang mampu untuk menulis.

Ketiga, keengganan guru untuk menulis buku sedikit banyak dipengaruhi oleh ketidakjelasan siapa yang nanti akan menerbitkan. Sudah rahasia umum, dalam pemilihan buku pegangan untuk anak didik, guru atau kepala sekolah seringkali ter-subordinasi oleh kekuatan penerbit. Pemilihan buku bacaan apa yang tepat untuk anak didik bukan ditentukan sejauhmana kualitas buku itu, tapi lebih ditentukan oleh besaran insentif yang diberikan penerbit kepada sekolah.

Solusi yang dapat ditawarkan adalah keberanian sekolah untuk memberikan rangsangan berupa insentif kepada guru untuk menyusun bahan ajar dalam bentuk buku, diktat atau apapun bentuknya.

Berkaitan dengan anggaran untuk penulisan buku pelajaran, sebenarnya sudah ada anggaran dari Depdiknas. Namun seiring dengan otonomi daerah, maka dana pengadaan buku pelajaran dialihkan pada setiap daerah untuk dikelola. Dimasukkannya anggaran pengadaan buku pelajaran ke dalam Dana Alokasi Umum (DAU) setiap kabupaten kota memberikan peluang untuk mengembangkan potensi menulis yang dimiliki oleh guru. Namun harapan ini tak juga tercapai, karena setiap kabupaten kota membelanjakan dana untuk membeli buku pelajaran ke penerbit yang sudah ada.

Ketika guru sudah mampu untuk menyusun bahan ajar sendiri, maka sekolah akan mendapatkan tiga keuntungan sekaligus. Pertama, sekolah tidak akan kelabakan ketika menghadapi akreditasi yang dilakukan secara berkala. Uji akreditasi yang dilakukan oleh lembaga terkait terhadap sebuah sekolah sering menjadi “momok”, hal ini terjadi karena sekolah harus menyiapkan berbagai macam dokumen pembelajaran maupun administrasi kelebagaan sebagai salah satu instrumen yang dinilai oleh asesor.

Kedua, dengan adanya bahan ajar yang disusun sendiri oleh guru dan tidak tergantung pada buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit, maka sekolah akan terbebas dari ketergantungan pada pihak luar dalam hal penyediaan buku dan bahan ajar lainnya. Sebab, semakin sekolah tergantung pada penerbit tertentu, maka yang terjadi adalah pengabaian pada kualitas buku yang dipakai.

Dan yang ketiga, guru agak sedikit tersenyum lega karena mendapatkan insentif dari hasil karyanya tersebut.

Memang, dalam beberapa kasus, kerjasama sekolah dengan penerbit memberikan keuntungan tersendiri bagi sekolah. Akan tetapi jika sekolah sudah komitmen, maka kemampuan guru untuk membuat bahan ajar sendiri merupakan salah satu jawabannya. Dan untuk itulah sekolah perlu men-support guru agar “menulis”.

Akhirnya, guru, sebagai sebagai sebuah profesi yang berhubungan dengan dunia akademik-ilmiah, maka sangatlah wajar ketika dalam profesi ini dituntut untuk mampu menuangkan berbagai idenya dalam bentuk tulisan. Karena sesungguhnya karya tulis, apapun bentuknya, sejatinya merupakan salah satu media untuk berkomunikasi secara non verbal.

* Artikel ini dimuat di Harian Tribun Jabar Edisi 17 Juli 2009

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda