Selasa, 01 Juni 2010

MEWUJUDKAN ISLAM SEBAGAI AGAMA MORAL

Betapa saratnya pesan moral atau akhlak dalam Islam, secara mudah dapat diketahui dari misi kerasulan Nabi Muhammad SAW itu sendiri, dimana beliau tidak diutus kecuali untuk memperbaiki moral atau untuk memperbaiki akhlak sehingga tercipta akhlak yang mulia.

Ketika seorang sahabat bertanya kepada Aisyah tentang persoalan moral ini, maka dijawab Aisyah bahwa standar akhlak Rasulullah adalah Al-qur’an. Bahkan Allah sendiri memuji Nabi dengan kalimat “wa innaka la’ala khuluqin ‘adhiim” (sesungguhnya engkau berakhlak luhur) (Q.S. Qaf: 4). Menurut rasulullah, sebaik-baik manusia adalah yang berakhlak (H.R. Bukhari Muslim), dan yang sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya (H.R. Tirmidzi)

Dalam Islam, antara ibadah ritual dan moralitas mempunyai kedudukan yang seimbang. Allah secara tegas dalam surat al-Mauun menyatakan tentang celakanya orang yang tidak menjunjung moralitas terhadap sesamanya, bahkan lebih tegas lagi dianggap sebagai pendusta agama.

Islam adalah suatu sistem yang komplit dan hidup, saling mengisi antara persoalan ritual dan pesoalan moral, antara kewajiban individu dan sosialnya. Ringkasnya, dalam perspektif Islam tidak pernah ada sekularisasi (pemisahan) aktivitas ritual-sakral dengan moral-sosial. Yang ada hanyalah keunggulan makna ibadah. Islam memandang aktivitas sosial-profan mempunyai makna sakral, selama aktivitas itu diiringi dengan niat yang ikhlash dalam rangka mencari ridlo-Nya. Juga aktivitas ritual seperti sholat, akan mempunyai implikasi sosial jika dilaksanakan dengan khusyu dan benar.

Jelaslah, bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi moral, namun masalahnya tidak berhenti di situ, tetapi bagaimana mengupayakan agar moralitas sebagai substansi Islam tersebut dapat merealita dalam kehidupan umat? Jawabannya ada pada proses pendidikan Islam Untuk itu, hemat penulis ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan kita.

Pertama, pendidikan Islam perlu diarahkan agar umat memahami doktrin-doktrin Islam secara utuh dan menyeluruh, tidak berkutat pada masalah ritual beserta rukun-rukunnya saja. Tidak juga dilakukan dengan pendekatan fiqhiyah dari salah satu madzhab saja. Tetapi dimulai dari doktrin global tentang hakikat utama Islam, hakikat Allah SWT., rasul, al-qur’an, hakikat manusia itu sendiri, misi dan tugas penciptaan manusia, hakikat ibadah, ukhuwah, sejarah, kondisi kontemporer umat dan sebagainya.

Dengan pemahaman umat yang tidak hanya fiqh oriented, apalagi fanatik terhadap salah satu madzhab, maka umat Islam akan menjadi manusia yang komprehensif dalam memahami ajarannya. Kecenderungan dari fanatisme madzhab adalah timbulnya perpecahan dalam umat Islam. Umat menghabiskan energinya hanya untuk memperdebatkan masalah-masalah seputar fiqh yang nota bene merupakan masalah khilafiyah (debatable) yang tidak substansial.

Umat Islam harus disodori dengan realitas ketertinggalan mereka dari umat lain yang sudah lebih dulu maju dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai. Rangsangan untuk mengejar ketertinggalan inilah yang seharusnya lebih mengemuka.. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam sejak awal mengetahui target capaian yang harus mereka perjuangkan yaitu mengejar ketertinggalan.

Kedua, pendidikan Islam perlu diarahkan pada pencerahan hati dan kecerdasan emosional (emotional quotion), tidak hanya pada tataran kognitif, agar umat mempunyai wawasan akidah, ruhiyah dan moral yang tinggi, kemampuan empati, kemampuan penghayatan dan interaksi dengan nilai-nilai Islam serta peka terhadap persoalan-persoalan kolektif yang dihadapi.

Penekanan pada pencerahan hati dan kecerdasan emosional adalah agar umat Islam, sekali lagi, tidak terjebak pada aktivitas fisik ritual tanpa makna yang meresap dalam hati sanubarinya. Rasa yang dimiliki manusia akan membawa pada totalitas kehidupan keagamaan yang komprehensif. Rasa dan emosi manusia yang terasah dengan baik akan membawa sang empunya pada aplikasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan kesehariannya.

Dalam proses pendidikan Islam, kecenderungan yang muncul adalah adanya penekanan yang berlebih pada aspek kognitif semata. Pendidikan Islam yang lebih menekankan pada tataran kognitif nampak dari output pendidikan yang mahir dalam menyebutkan keutamaan-keutamaan dari suatu aktivitas keagamaan, akan tetapi mereka sangat kering pengalaman dan pengamalan aktivitas keagamaan tersebut. Hal ini terjadi karena dalam dunia pendidikan Islam, kognitiflah yang menjadi titik tekannya, padahal justru afeksilah yang harus lebih ditekankan.

Penekanan pada afeksi akan nampak pada usaha stake holder pendidikan Islam untuk menciptakan sebuah regulasi (kurikulum) sedemikian rupa yang lebih fokus pada usaha menciptakan sikap (afeksi) dari anak didik. Sikap yang dibentuk dari pengalaman dan pengamalan keagamaan agar berbanding lurus dengan meningkatnya keyakinan umat akan ajaran agama yang dianutnya.

Dan ketiga, umat perlu mendapatkan latihan-latihan (keterampilan) sehingga memiliki skill dan bukan hanya value, sehingga mereka terampil dalam beramal dan menyelesaikan masalah-masalah yang komplek. Poin ketiga ini mengindikasikan perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam dunia modern yang semakin mengglobal ini, umat Islam dihadapkan pada sebuah situasi persaingan yang sangat tinggi. Dalam seluruh aspek kehidupan umat Islam sangat tertinggal. Diantara sebabnya adalah tidak dimilikinya skill atau keterampilan umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Umat Islam sangat tergantung kepada dunia luar. Dalam kondisi yang demikian inilah umat Islam digerakan dan didikte oleh mereka.

Inilah tantangan bagi pendidikan Islam untuk secara serius menggarap masalah peningkatan skill hidup umat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara penyediaan berbagai macam program keahlian dalam dunia pendidikan yang skill oriented. Selama ini yang nampak adalah program-program yang value oriented yang lebih dominan. Tentu hal ini memerlukan sebuah perubahan paradigma yang cukup fundamental dari sesuatu yang value oriented menuju yang skill oriented yang lebih menawarkan program-program yang bersifat keterampilan praktis yang dibutuhkan umat Islam.

Islam sebagai agama moral perlu difahami secara integral agar ia menjadi penggerak dan sumber motivasi dalam membangun keunggulan-keunggulan bagi umat Islam. Pada titik inilah perlunya membelah simbol-simbol, menguak isi, lalu mereguk manisnya sari Islam, agar umat tidak berjalan di tempat dan memboroskan energi yang tersimpan. Wallahu a’lam.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda