Kamis, 08 April 2010

sumber paradigma pendidikan Islam

Oleh Abdul Wahid
Pendidikan adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh manusia dalam rangka menjadikan manusia sebagai mahluk di bumi ini yang dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan sesamanya. Idealitas dari output sebuah proses pendidikan adalah melahirkan manusia yang manusiawi bukan sebaliknya manusia yang cenderung bersifat hewani. Satu hal yang menentukan arah pengembangan dalam pendidikan adalah sumber paradigma apa yang digunakan sebagai landasan dalam mengembangkannya.
Sekarang ini, masyarakat (terutama di Indonesia) mengelompokan pendidikan dalam dua kelompok, yaitu pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Keduanya sudah berjalan dan menghasilkan produk pendidikan yang berbeda pula. Pertanyaannya adalah dimana letak perbedaan yang mendasar antara keduanya? Inilah pertanyaan yang akan dicoba untuk dijawab penulis dengan menitikberatkan pada paradigma pendidikan tauhid yang dipegang oleh pendidikan Islam.
Yang membedakan antara pendidikan Barat dengan pendidikan Islam adalah pada sumber paradigma pendidikan yang digunakan oleh keduanya. Pendidikan Barat menggunakan konsep pendidikan yang tidak berdasarkan transendensi wahyu, sangat mengedepankan rasio sehingga menghasilkan sebuah konsep pendidikan yang anthroposentris, artinya berorientasi pada manusia semata tanpa memperhatikan aspek keakhiratan. Konsep yang semacam ini mengakibatkan output pendidikan yang dihasilkan adalah output yang tidak memiliki nilai ketuhanan dan menganggap ilmu pengetahuan yang dihasilkan adalah bebas nilai (free value).
Sedangkan Pendidikan Islam menggunakan transendensi Ilahi dan intervensi wahyu dalam mengembangkan konsep pendidikannya sehingga melahirkan pola pembinaan yang teosentris (bersifat keilahian) dengan tetap memberikan porsi yang proporsional pada rasionalitas manusia yang telah dianugerahkan Tuhan. Konsep semacam ini sangat jelas kelihatan dalam opersional pendidikan Islam yang selalu mengedepankan aturan-aturan Tuhan dalam al-Qur’an dan Hadits dalam mengambl setiap kebijakan yang akan dijadikan sebagai paradigmanya, sekali lagi dengan tetap menggunakan rasio sebagai sarana menganalisis secara proporsional.
Perbedaan sumber paradigma pendidikan tersebut mengakibatkan terjadinya perbedaan cara berpikir antara keduanya dalam menghadapi persoalan pendidikan yang timbul dalam kehidupan. Al-Qur’an merupakan sumber kerangka berpikir bagi umat Islam, didalamnya mengajarkan bagaimana seharusnya proses pendidikan berjalan.
Sebagai contoh dalam al-Qur’an dapat disebutkan disini adalah kisah Luqman. Di dalamnya terdapat sebuah pelajaran tentang potensi agama (fitrah al-diin/tauhid) yang dimiliki manusia, yang merupakan bekal kehidupan yang seharusnya dikembangkan dalam pendidikan.
Panekanan konsep fithrah manusia yang cenderung pada tauhid merupakan hal yang sangat fundamental, karena fithrah manusia sejatinya adalah sebuah kekuatan ruhani yang luar biasa yang jika dikembangkan dengan benar akan menghasilkan kekuatan yang besar pula.
Dalam pandangan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dinyatakan bahwa: “manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka tergantung kepada kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya orang Majusi, Yahudi ataukah Nasrani”. Dari hadits ini jelas memberikan sebuah pelajaran yang berharga bahwa pada hakikatnya lingkungan akan dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga kefithrahan manusia. Dari sinilah kemudian pendidikan Islam berangkat dengan memberikan nilai-nilai ketuhanan yang mengusung konsep tauhid kepada peserta didiknya.
Tauhid merupakan sesuatu yang harus ditanamkan sejak awal kepada peseta didik. Dari konsep tauhidlah hakikat dan tujuan institusional pendidikan seharusnya dirumuskan. Sebagai sumber paradigma pendidikan Islam, tauhid lebih bersifat emansipatoris, yakni berusaha melepaskan manusia dari penghambaan terhadap tuhan selain Allah dan penghambaan terhadap segala macam kungkungan. Dengan tauhid yang diungkapkan dalam bentuk syahadat kepada Allah dan rasulnya, merupakan sebuah ekspresi kemerdekaan manusia yang sesungguhnya dari berbagai macam belenggu.. Kebebasan inilah sesungguhnya yang menjadi kekuatan manusia untuk berkembang lebih baik dalam menjalani kehidupan ini.
Tauhid berarti juga komitmen manusia sebagai mahluk yang dho’if (lemah) menghamba kepada Allah SWT. yang Maha Kuasa sebagai bentuk rasa hormat, syukur dan satu-satunya sumber nilai yang valuable bagi sesama muslim yang tidak menerima otoritas dan petunjuk apapun kecuali dari-Nya.
Menurut Fadhil al-Jamali (1992: 125), ada tiga kekuatan dalam tauhid, yaitu: kekuatan ma’rifat, kekuatan perasaan yang sangat halus dan kekuatan iradah al-hasanah. Dari tiga kekuatan tersebut, tauhid menekankan aspek ruhaniyah dan jasmaniyah sekaligus, yang merupakan kemampuan yang mengintegrasikan antara berfikir, merasa dan berkehendak serta aktualisasi amaliyah dari kekuatan tersebut. Dengan kata lain tauhid berusaha menyatukan aktifitas manusia sehari-hari dalam ketundukannya kepada Allah SWT.
Bila dalam kenyataan sekarang menunjukan bahwa dunia pendidikan Islam masih saja terpolakan pada istilah pelajaran agama Islam dengan pelajaran non agama Islam, dimana pelajaran agama Islam yang tidak ditransformasikan untuk kepentingan sosial kemasyaraktan pada satu sisi, dan pelajaran non agama yang tidak dijadikan sarana pendidikan iman dan moral, maka berarti visi kita tentang Islam dengan segala dimensi ajarannya belum setajam yg dituntut oleh al-Qur’an, maka sudah barang tentu tugas kita adalah merubah status quo yang terpolakan itu dengan berani dan penuh tanggung jawab.
Polarisasi atau dikotomi antara pelajaran agama Islam dan non agama Islam merupakan sesutu yang tidak sejalan dengan paradigma tauhid dalam pendidikan Islam. Allah SWT. telah menurunkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta ini, dimana setiap dimensi dan aspek kehidupan berhak untuk mendapatkan cahaya Islam yang sejati. Polarisasi tersebut akan mengakibatkan sebuah sikap yang merasa diri lebih Islami pada satu sisi, dan merasa kurang (atau bahkan tidak) Islami di sisi lain. Jika hal ini terjadi maka akan menjadikan Islam kurang menjadi rahmat bagi semesta alam ini.
Jadi, pendidikan Islam haruslah menjadikan tauhid sebagai sumber paradigmanya sehingga melahirkan konsep-konsep pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan dengan tidak perlu mengadakan dikotomi antara pelajaran agama Islam dan non Islam. Kemudian konsep tersebut diwujudkan dalam mengambil kebijakan-kebijakan pendidikan sehingga melahirkan institusi-institusi pendidikan Islam yang mampu bersaing dengan institusi lainnya.


Label:

1 Komentar:

Pada 7 Mei 2010 pukul 13.12 , Anonymous Anonim mengatakan...

banyaknya arus negative yang membuat anak remaja jaman sekarang terjerumus salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya penanaman pendidikan agama dan nilai norma .



rizka . febrian
X-AP2

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda