Rabu, 17 Maret 2010

peran ideal guru

Oleh Abdul Wahid

Banyaknya gugatan atas berbagai kegagalan bangsa ini, pada akhirnya akan dialamatkan kepada kegagalan dunia pendidikan kita. Meski seharusnya gugatan tersebut tidak hanya tertuju pada dunia pendidikan semata, sebab pada dasarnya ada banyak faktor yang secara langsung ataupun tidak langsung memberikan kontribusi atas persoalan tersebut. Barangkali karena pendidikan dianggap sebagai dunia yang bergelut dengan hal-hal yang ideal dan normatif, maka ketika terjadi penyimpangan, maka seluruh mata tertuju padanya.
Bagi kebanyakan negara berkembang --bahkan negara maju sekalipun-- pendidikan berfungsi untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan keterampilan untuk dapat menjalankan pembangunan. Secara normatif pendidikan diharapkan dapat memberi petunjuk bagi keberlangsungan kehidupan sesuai dengan tata nilai ideologis dan kultural bangsa.
Dengan begitu, proses yang berlangsung dalam dunia pendidikan harus dapat memberi kesadaran kepada manusia akan potensi “kemanusian” yang dimilikinya, dan mampu merangsang manusia untuk mempergunakan potensi tersebut sesuai dengan tata nilai kemanusian. Selain itu, secara material pendidikan seyogyanya dapat memberikan pengetahuan yang memajukan dan mempertinggi kualitas hidup, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara.
Kekurangmutuan pendidikan ini pada akhirnya berdampak pada banyak hal, salah satunya terwujud dengan model belajar yang cenderung tradisional. Dalam proses pendidikan tradisional, pendidik selalu menganggap siswa sebagai objek yang tidak memiliki potensi apapun (impotensi akademik), sehingga guru adalah segalanya.
Seharusnya yang dikembangkan adalah pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada active learning sehingga siswa terbiasa aktif untuk mencari solusi dari masalah yang timbul. Pada tahapan selanjutnya, akibat dari pendekatan pembelajaran yang tidak menekankan active learning ini, akan dipastikan terjadinya kegagalan akademik pasca proses pendidikan, atau dengan kata lain outcome pendidikan tidak akan maksimal.
Pada tataran operasional pendidikan, yang menduduki posisi sentral adalah guru. Guru merupakan pihak yang langsung berinteraksi dengan dunia ini. Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya seorang guru, dan siapakah yang pantas menjadi guru sehingga cita-cita ideal dari proses pendidikan dapat tercapai.
H.A.R. Tilaar (1991) mengungkapka peran ideal seorang guru dalam era industrial. Menurutnya, guru adalah seorang “resi” dalam arti modern. “Resi” dalam konteks kemodernan berarti guru harus menguasai sains dan teknologi sesuai kondisi saat ini. Paulo Freire, tokoh pendidikan Brasil, mengungkapkan “every place is a school, every one is teacher”. Ungkapan ini menjelaskan bahwa guru itu bukan siapa-siapa, tetapi dia bisa siapa saja, dimana saja, serta hadir kapan saja, tanpa batas ruang, waktu dan kondisi apapun.
Guru juga harus mampu menyampaikan pesan moral dan keyakinan agama atas sikap dan perilaku yang dilakukannya. Artinya dalam setiap performance individunya, guru harus dapat membawa pesan kepada anak didik untuk menyadari akan adanya dimensi moral dan religius dalam hidup ini. Selanjutnya dengan tutur bahasa dan gerak tubuhnya, guru harus dapat meyakinkan siswanya tentang ajaran kebenaran dan sisi keilmiahan materi yang disampaikannya. Kedua dimensi (moral dan religius) itu harus menjadi acuan dalam pola pikir, pola tindak serta pola laku yang dilakukan guru.
Pada kenyataannya untuk mengemban amanah ini, memang bukanlah hal yang mudah. Di tengah perjalanannya terkadang muncul berbagai peristiwa yang dapat menghancurkan martabat serta kewibawaan seorang guru. Tunjuklah peristiwa guru yang menghukum siswa hingga cidera, bahkan hingga menemui kematiannya, atau guru yang melakukan tindakan asusila berupa pelecehan seksual terhadap siswinya. Peristiwa tersebut merupakan sebagian cerita yang mencerminkan perilaku “kegagalan” guru dalam menjalani “tugas suci” yang diembannya.
Seyogyanya, dengan peran yang sangat ideal tersebut menjadikan guru sangat hati-hati dalam menjalani kehidupannya, sebab ibarat pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, maka apapun yang dilakukan guru, dalam konteks pembelajaran formal ataupun tidak, akan tetap menjadi sorotan masyarakat. Selamat kepada sahabat-sahabatku, guru yang berjuang dalam mempertahankan eksistensi kemanusiaan manusia di dunia ini.

* artikel ini dimuat di Tribun Jabar, 9 desember 2008

Label:

1 Komentar:

Pada 18 Maret 2010 pukul 15.36 , Blogger fLecko mengatakan...

guru = di gugu dan ditiru betul kan pak? hehehe

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda