Rabu, 14 April 2010

Menanamkan Etika Diniyah Kepada Siswa


Pendidikan adalah upaya manusia dalam rangka menjadikan manusia sebagai mahluk yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan sesamanya. Dalam praktiknya, pendidikan dimaksudkan untuk membuka cakrawala berfikir siswa dan membimbingnya ke arah yang lebih baik sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia (fithrah) yaitu sebagai hamba (’abid) Tuhan dan sebaga khalifah-Nya.
Seyogyanya siswa harus diarahkan untuk mengembangkan potensi dirinya dengan bimbingan gurunya. Dalam hal ini guru harus mampu menggali dan memunculkan kreativitas dan sikap kritis siswa terhadap segala dinamika kehidupan yang muncul. Untuk itulah seorang guru sebaiknya menanamkan nilai tauhid dan etika diniyah sejak awal kepada peseta didik sebagai bekal dalam mengarungi hidupnya.
Tauhid merupakan komitmen manusia sebagai mahluk yang dho’if (lemah) dalam menghamba kepada Allah SWT. yang Maha Kuasa sebagai bentuk rasa hormat, dan syukur. Tauhid merupakan sesuatu yang harus ditanamkan sejak awal kepada peseta didik. Dari konsep tauhid-lah hakikat dan tujuan institusional pendidikan seharusnya dirumuskan.
Menurut Fadhil al-Jamali (1992), ada tiga kekuatan dalam tauhid, yaitu: kekuatan ma’rifat, kekuatan perasaan yang sangat halus dan kekuatan iradah al-hasanah. Dengan tauhid yang kokoh, akan menjadikan siswa memiliki orientasi hidup yang jelas.
Selain penanaman tauhid, etika diniyah (hidup beragama) juga harus menjadi perhatian untuk ditanamkan sejak awal. Dalam al-Qur’an paling tidak ada tiga hal yang merupakan bagian dari etika diniyah yang seyogyanya diprioritaskan untuk ditanamkan kepada peserta didik.
Pertama, etika berpakaian, tentang etika ini dijelaskan dalam Q.S. Al-A’raf ayat 26 yang artinya; ”Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang paling baik, yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”.
Kedua, etika bertamu, hal ini dijelaskan dalam Q.S. An-Nur ayat 27 yang artinya; ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin (isti’dzan) dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat”. Meminta izin (isti’dzan) ketika bertamu ini berfungsi untuk memberitahukan kepada pemilik rumah, sehingga pemilik rumah memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan, apakah akan bersiap-siap menerima ataukah tidak.
Ketiga adalah etika berbicara, hal ini dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat ayat 2 yang artinya ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari”.
Εtika dalam berbicara dimaksudkan agar siswa dapat menempatkan diri dalam kondisi pembicaraan, artinya denga intonasi dan gaya bahasa yang bagaimana yang harus digunakan. Tentunya akan terdapat perbedaan antara berbicara dengan orang tua, guru dan dengan teman sebaya.
Ketiga etika di atas (berpakaian, berbicara dan bertamau), bagi anak-anak kita merupakan hal sangat urgen untuk diberikan pembelajarannya. Kita tidak bisa menutup mata sekarang ini dimana akibat dari penetrasi budaya asing, anak-anak (dan masyarakat pada umumnya) mulai menampakan sikap permisive (acuh tak acuh) terhadap nilai dan etika yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan, baik nilai budaya maupun etika beragama.
Tak jarang kita melihat bagaimana anak-anak kita berperilaku, baik dengan teman sebayanya ataupun dengan orang yang seharusnya dihormati seperti orang tua dan guru, mereka kurang menampakan tata krama dan sopan santun. Ketika bergaul, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenisnya, mereka cenderung untuk meniru model pergaulan ”Barat” sebagaimana yang mereka tonton di TV.
Fakta inilah yang seharusnya menjadi bahan renungan bagi kita yang berprofesi sebagai guru. Guru seyogyanya berupaya untuk menjadikan anak-anak didik sebagai sosok yang ideal sebagaimana yang dicita-citakan dalam kurikulum pendidikan.
Walau bagaimanapun anak-anak kita adalah amanah yang diberikan Tuhan untuk dijaga agar tidak terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang dan menyimpang. Satu tindakan yang patut dilakukan orang tua dan guru adalah harus menjadi teladan bagi anak-anaknya. Keteladananlah yang mampu menjadi metode paling jitu dalam menanamkan kebaikan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh rasulullah SAW.
Guru adalah pihak yang ikut bertanggung jawab untuk menjaga amanah tersebut dengan cara menanamkan nilai dan etika diniyah kepada siswa, tentunya disamping tanggung jawab yang dipikul oleh orang tua. Semoga anak-anak kita mampu menjadi generasi yang beretika, amiin!

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda