Sabtu, 09 Oktober 2010

Ada Ketidakadilan Dalam Tes Keperawanan

Salah satu topik menarik yang ramai dibicarakan oleh media dalam minggu-minggu belakangan ini adalah wacana tes keperawanan bagi anak-anak perempuan yang akan masuk ke jenjang pendidikan SMP atau SMA. Di beberapa daerah, sebut saja propinsi Jambi, hal ini diwacanakan oleh anggota dewan. anggota Komisi IV DPRD Provinsi Jambi, Bambang Bayu Suseno. Ia mengatakan bahwa kalau semuanya sepakat maka ide ini akan diubah menjadi raperda dan pada akhirnya menjadi perda (peraturan daerah).

Tes ini dilakukan dengan cara mengecek keperawanan anak permpuan, apakah dia masih virgin (belum pernah berhubungan intim) atau tidak. Dari hasil ini kemudian dijadikan sebagai pertimbangan untuk menerima atau menolak yang bersangkutan untuk belajar di sekolah tersebut atau nantinya ia akan mendapat perlakuan khusus.
Munculnya ide ini sebenarnya berawal dari realitas sosial masyarakat kita, yang berdasarkan hasil beberapa survey, menunjukan hasil yang sangat mencengangkan, yaitu lebih dari 50 persen siswa dan siswi di tingkat SLTA pernah melakukan hubungan intim layaknya suami istri. Masyarakat Indonesia yang sangat religius ini tentu bereaksi, dan diantaranya adalah dengan ide tes keperawanan bagi perempuan yang akan masuk pada jenjang pendidikan tertentu dengan maksud agar menimbulkan efek jera dan rasa takut untuk melakukan perzinahan tersebut.
Kalau sudut pandangnya perzinahan, maka, problem ini sangatlah komplek. Problem perilaku seksual menyimpang yang dilakukan sebagian masyarakat, terutama anak-anak yang masih menyandang status pelajar, sangat tidak bijak kalau kemudian hanya ditimpakan kesalahannya pada anak-anak perempuan dengan status pelajar.
Sesungguhnya anak-anak tersebut adalah korban. Korban kemajuan teknologi informasi. Korban permissivisme (ketidakacuhan akan nilai dan nirma) masyarakat. Dan yang lebih dahsyat adalah korban dari tidak adanya keteladanan dari kita selaku generasi yang lebih tua yang seharusnya mampu membina dan mengarahkan mereka dari beragam tindak penyimpangan, termasuk perilaku sex menyimpang.
Kembali pada tes keprawanan, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah layak menjadikan tes ini sebagai pertimbangan dalam penerimaan siswa baru, padahal setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Kemudian, apakah jika ini betul-betul dilakukan, tidak akan menimbulkan ekses negatif bagi siswa tersebut. Inilah hal-hal yang harus dipertimbangkan masak-masak oleh para pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini.
Menurut penulis, ada beberapa ketidakadilan yang dapat muncul dari tes ini. Pertama, namanya saja tes keperawanan, maka hanya diberlakukan kepada wanita, laki-laki tidak. Dari fakta inilah muncul tindak diskriminatif (ketidakadilan) antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang tidak perawan akan mendapat sanksi sosial berupa penolakan di sekolah, sementara yang laki-laki tidak mendapat hal yang serupa jika sudah tidak perjaka lagi. Disamping itu, untuk mengetes keperjakaan tentu lebih sulit dibanding ekeperawanan, karena perbedaan organ genital antara laki-laki dan perempuan.
Kedua, keperawanan merupakan sesuatu yang sangat privacy (rahasia pribadi) yang tidak pantas untuk dipublikasikan. Jika tes ini dilakukan, maka secara otomatis akan ada publikasi, semua orang akan tahu bahwa ia sudah tidak perawan lagi. Jika ini terjadi maka akan menimbulkan dampak psikologis yang luar biasa pada anak. Ia akan merasa minder dalam pergaulannya dan ini melanggar HAM.
Para seksolog mengatakan bahwa ternyata tidak selalu ada hubungan antara selaput dara dengan pernah tidaknya seorang gadis berhubungan seks. Hubungan seks memang bukan satu-satunya penyebab kerusakan pada selaput dara. Berbagai aktivitas fisik seperti bersepeda serta senam lantai maupun pemasangan tampon bisa membuatnya rusak sekalipun belum pernah berhubungan badan. Pakar seksologi menilai hal ini tak hanya melanggar HAM, tapi juga membuktikan ketidaktahuan soal seksualitas.
Dan yang ketiga adalah tidak relevan dengan tujuan pendidikan nasional yang ingin menjadikan masyarakat yang baik dan berbudi pekerti. Tes ini secara langsung akan menimbulkan sebuah klaim bahwa anak tersebut adalah anak nakal yang dianggap tidak layak untuk mengikuti pembelajaran. Padahal setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan, dan pemerintah wajib untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi warga negaranya.
Sesungguhnya yang harus dilakukan bukanlah mencari siapa yang salah dan siapa yang benar pada anak-anak. Anak-anak kita, semuanya, adalah anak bangsa yang pada dasarnya baik yang harus di didik dan diluruskan sehingga mampu menjadi manusia yang beriman dan bertakwa sebagaimana yang diinginkan negara dalam tujuan pendidikan nasional.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda